PERAHU
DAN RITUAL PEMBUTANNYA DI TANA BERU BULUKUMBA
Negara Republik Indonesia memiliki aneka
ragam budaya, latar belakang sejarah, keindahan alam dan tata hidup masyarakat
yang merupakan daya tarik wisata yang tersebar diberbagai wilayah Nusantara,
sehingga banyak menarik minat untuk para peneliti. Walaupun Bangsa Indonesia
berasal dari nenek moyang yang sama, akan tetapi karena wilayah Indonesia yang
berbentuk kepulauan dimana satu pulau dengan pulau lainnya dipisahkan oleh
lautan, maka hal demikian menyebabkan timbulnya berbagai perbedaan tata hidup,
budaya dan bahasa antar sekelompok masyarakat/suku. Seperti pada sisi budaya di
dunia laut yaitu perahu tradisional yang terdapat di berbagai wilayah
Indonesia. Perahu tradisional yang dimaksud adalah perahu yang cara
pembuatannya dikerjakan berdasarkan pengalaman yang diwariskan oleh leluhurnya.
Di samping itu perahu tradisional dibuat dengan bahan baku kayu yang dapat
diperoleh secara mudah diberbagai tempat Indonesia. Sedangkan sebutan perahu
mengacu pada keberadaan eksistensi perahu tersebut yang dapat ditemukan
diberbagai wilayah Indonesia karena setiap pulau atau etnis tertentu yang hidup
didekat pantai, danau dan sungai tentu memiliki perahu tradisional.
Adapun perahu tradisional menurut para ahli
berasal dari perahu bangsa Austronesia
dalam bentuk perahu cadik, terus berkembang secara perlahan-lahan sesuai dengan
alam lingkungan dimana perahu itu berada. Perahu cadik bentuknya menyerupai
perahu sampan, tetapi dibuat lebih besar dan lebih panjang. Pada bagian sisi
kanan duPERAHU DAN RITUAL PEMBUTANNYA DI TANA BERU BULUKUMBAa dan kirinya dibuat oleh keseimbangan. Alat keseimbangan tersebut
dibuat dari batang bambu. Perahu tradisional sangat menarik bukan hanya karena
perahu tersebut merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan trasportasi dalam
menunjang kemudahan untuk bergerak baik untuk mencari makanan, berdagang,
menangkap ikan, mutiara maupun hasil laut lainnya, tetapi penting pula dalam
kaitannya dengan konsepsi kepercayaan. Perahu juga biasa dihubungkan dengan
peristiwa-peristiwa perjalanan arwah setelah arwah tersebut meninggalkan
raganya. Pembahasan tentang perahu yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa,
khususnya yang menyangkut asal mula, daerah pembuatan, siapa yang membuat,
kapan dibuat, dan dimana dibuat. Kapan mulai muncul dan gejala apa yang menjadi
bukti keberadaan perahu tersebut. Perahu pinisi yang diciptakan seperti yang
banyak dilihat di Tanah Beru Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan ini
sudah dikenal sampai ke manacanegara. Perahu pinisi telah dibeli oleh orang
untuk berbagai keperluan. Kapal pinisi dengan berbagai ukuran telah dibuat
dengan ciri-ciri khas Sulawesi Selatan. Pada tahun 1989 seorang pelaut Jerman
Hans Schwart membeli perahu yang indah untuk dibawa ke negerinya. Michael Chan
seorang warga Inggris tahun 1991 membeli dan membawa perahu Pinisi ke
negerinya. Tahun 1992 Yamamoto Yushiki warga negara Jepang menggunakn pinisi
untuk keliling dunia1. Bahkan tahun 1994 seorang arkeolog Singapura telah
membeli perahu pinisi Bulukumba.
Perahu inilah yang membuktikan Indonesia
dahulu adalah negara maritim yang besar dengan budaya pelaut dan pembuat kapal
yang tangguh. Awalnya, perahu Pinisi pelaut Indonesia mengandalkan angin
sebagai pendorong laju perahu. Karenanya, perahu Pinisi dahulu menggunakan
layar pada bagian depan dan belakang. Seiring dengan makin berkembangnya
peradaban, perahu Pinisi kini sudah ada yang menggunakan mesin motor diesel
sebagai tenaga pendorongnya. Secara garis besar, terdapat tiga bagian dalam
perahu Pinisi, yaitu bagian atas, bagian utama, dan bagian belakang, sementara,
bagian bawahnya dilapsi oleh fiber kras sehingga bisa menahan air. Yang
menarik, walaupun pembuatan perahu Pinisi sudah terpengaruh modernisasi
ritual-ritual dalam pembuatan perahu masih terus dilakukan.
A.Perahu
Pengertian
Perahu dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) memiliki arti yaitu kendaraan air (biasanya tidak bergeladak
yang lancip pada kedua ujungnya dan lebar ditengahnya). Namun pada sub bahasan
materi ini adalah mengenai perahu yang kerap kali disebut dengan Pinisi. Pinisi
adalah kapal layar tradisional yang khasnya itu dari daerah Bulukumba, Sulawesi
Selatan. Berikut akan di jelaskan mengenai sejarah asal muasal hingga proses
pembuatan perahu tersebut.
Daerah
Tempat Perahu Di Buat
Disebuah
tempat di Kampung di Tana Beru Bulukumba, Sulawesi Selatan Beberapa kelompok
masyarakat Bugis membuat perahu yang dikenal dengan sebutan nama Pinisi
karena bentuk yang dibuat seperti perahu model pinisi nusantara. Kapal pinisi
adalah kapal tradisional di daerah Bulukumba tepatnya daerah ini 170 km kearah
tenggara Makassar konon kapal ini sudah ada cikal bakalnya sejak abad ke 7. Kapal
tradisional rakyat bugis Tanah Beru Kabupaten Bulukumba ini perahu aslinya
terbuat dari kayu ulin untuk lunas perahu dan kayu biti namasa, manga dan
tembaga untuk bagian lain perahu. Ciri utama perahu ini adalah bentuk perahu
menggunakan prinsip lambur g dari belah sabut kelapa, dilengkapi 7 buah layar
depan 2 buah layar utama 2 buah layar puncak ukuran panjag =37 m dan tinggi
layar 12 m lebar 8 m serta berat 120 ton. Kapal pinisi nusantara pada tahun
1986 berhasil mencatat sejarah baru berupa berlayar dari Jakarta ke Vancouver
Canada dengan jarak tempuh 11.000 mil laut. Selama 68 hari.
Pinisi
nusantara dibuat secara khusus agar mampu mengarungi samudra pasifik dengan
rute pelayaran Jakarta – Bitun - Vancouver
Canada 11.000 mil laut selama 68 hari.
Ekspedisi ke Vancouver dinahkodai oleh captain. Gita Tedja Kusuma dengan 11
orang anak buah kapal (ABK) yang pelaut alam Bugis, Jawa, Sunda, Padang dan
Timor. Dengan
mengutamakah kebersamaan, kesetiakawanan, tanggungjawab serta disiplin yang
tinggi, mereka mampu melaksanakan misi
sejarah dengan selamat. Tantangan laut
pasifik sanggup mereka takluki. Setelah berhasil sampai di Vancouver pinisi
nusantara masi mampu berlayar lagi ke San Diego USA sejauh lebih kurang 1000
mil laut selama 2 minggu. Ekspedisi lanjutan tersebut sekaligus membuktikan
catatan sejarah bahwa di Acapolco, Maksiko telah ditemukan fosil perahu jenis
phinisi.
Tidak hanya itu
perahu ini pada waktu perang Makassar terjadi, juga tercatat bahwa perahu di
Bulukumba juga ikut terlibat dalam sejarah yang dimana pada saat pasukan Bone
menyerang ke berbagai pos-pos peperangan yang ada di Makassar. Dengan bantuan
perahu yang ada di Bulukumba mampu mengatasi musuh karena pada waktu itu
pasukan Bone sangat besar sehingga para kepala daerah yang diangkat Belanda
diusir ke Sageri yang dimana ekspedisi kekuatan Bone semakin dekat ke pos-pos
Belanda di selatan Bontain dan Bulukumba. Sehingga pertahanan pasukan Bone di Bulukumba sangat kuat dengan
dilengkapi 50 benteng, kemudian tanggal 5 februari 1825, Belanda berangkatkan
serdadunya bersama-sama pasukan bantuan dari raja-raja bumi putra melalui laut
ke Bontaian dan selanjutnya menuju ke Bulukumba dengan menggunakan
perahu-perahu kecil untuk menghancurkan kekuatan Bone ini.
Jadi perahu – perahu Bulukumba sejak dari dulu sudah banyak mencatat hal-hal
sejarah yang posistif dan membanggakan.
Adapun info bahwa perahu yang sangat terkenal dari daerah
ini adalah perahu jenis Palari dan Perahu Selompong. Jenis perahu sebelum
pinisi yang menarik adalah perahu Pa’dewakang. Pada saat ini keahlian pembuatan
perahu tradisional Sulawesi Selatan diperoleh dengan cara diwariskan secara
turun temurun dari generasi ke generasi. Keahlian pembuatan perahu terbatas
hanya masyarakat Ara, Lemo-lemo dan Bira. Hal ini sangat erat kaitannya dengan
lagenda yang terbesar diluar sana. Dahulu kala ada perahu yang dikenal dengan
perahu Sawerigading yang merupakan perahu milik seorang yang sangat
sakti.Perahu tersebut lunasnya terdampar di pantai Ara, sottingnya terdampar di
Lemo-lemo, sedangkan layar dan tali temalinya di Bira. Oleh karena itu keahlian
perahu hanya dimiliki oleh penduduk yang tinggal di daerah, dimana terdapat
bagian dari perahu Sawerigading yang rusak tersebut. Pinisi dapat dikatakan
symbol dan lambang dari suatu kemajuan teknik yang luar biasa dan tetap
didasari oleh nilai nilai seni yang tinggi dan budaya yang bersifat
tradisional. Karena sifat dari perahu pinisi tidak hanya dipergunakan sebagai
sarana angkut semata-mata atau sarana yang komoditi ekspor yang tinggi nilainya,
tetapi juga merupakan sesuatu yang bersifat simbolik. Karena sifatnya yang
simbolik maka dalam usaha pembuatannya maupun dalam proses-proses peluncurannya
dan pemanfaatannya yang diperlukan dalam upacara tradisional yang dilandasi
oleh kepercayaan suatu kekuatan.
Namun jangan sampai sebuah kepercayaan suatu
kekuatan yang membuat kesyirikan terhadap Allah Swt. Firman Allah dalam QS. Al
Isra/17:66
ÇÏÏÈ $VJÏmu öNä3Î/ c%x. ¼çm¯RÎ) 4 ÿ¾Ï&Î#ôÒsù `ÏB (#qäótGö;tGÏ9 Ìóst7ø9$# Îû ù=àÿø9$# ãNà6s9 ÓÅe÷ã Ï%©!$# ãNä3/§
Terjemahnya: Tuhan-mu adalah yang melayarkan
kapal-kapal di lautan untukmu, agar kamu mencari sebahagian dari
karunia-Nya.Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang terhadapmu
Berdasarkan ayat yang dipaparkan di atas kita melihat bahwa
Allah telah memberikan ayat-ayat yang cukup jelas tentang laut, dan manfaatnya.
Dimulai dari mengingatkan akan kapal-kapal yang berlayar di lautan dengan
membawa barangbarang dagangan sebagai aktivitas perdagangan mereka. Semua itu
adalah satu diantara tanda kebesaran-Nya. Kemudian Allah mengingatkan bahwa
masing-masing dari semua ini cukup memalingkan orang-orang musyrik dari
kemusyrikan yang sedang mereka lakukan. Allahlah yang telah menundukkan kapal
dari segala goncangan ombak dan badai serta gangguan lain agar manusia dapat
mengambil sebagian dari karunia-Nya dengan cara berlayar.
Untuk menunjang kegiatan mereka sebagai
pelaut, menggunakan alat transportasi perairan yaitu perahu. Ada berbagai jenis
perahu yang dipergunakan orang Bugis-Makassar sejak dahulu, yang kesemuanya
dibuat oleh komunitas orang Konjo
Kabupaten Bulukumba, diantaranya yaitu Pa’dewakang, Pajala, Lambo’,
Palari dan Pinisi yang telah mengarungi perairan Nusantara. Bahkan lebih jauh
dari itu mereka telah berlayar sampai ke Srilanka, Madagaskar, Philipina dan
Austaralia Utara untuk berdagang. Pembuatan
perahu pinisi dalam berbagai jenis perahu lainnya nampaknya memang sederhana.
Akan tetapi jika telusuri dan dikaji secara mendalam pembuatan perahu tersebut
telah direncanakan dengan sangat matang, mulai dari penentuan ukuran tiap
komponen, penentuan jumlah bahan, pemilihan jenis dan kalitas kayu untuk
komponen tertentu dan sebagainya.
B. Tradisi Pembuatan Perahu
Pembuatan Perahu
Pinisi diawali :
Ø Penebangan Pohon
Sumber gambar :http://google.com
Penebangan pohon yang sudah dipilih sesuai
dengan tukangnya. Paling penting adalah mencari pohon yang dapat dijadikan
lunas perahu (balok dasar perahu) serta dua buah penyambungnya untuk ke depan
dan ke belakang. Penebangan pohon dilakukan pada saat-saat yang tepat dan hari
yang baik maupun jam saat penebangan. Saat penebangan kayu biasanya sebelum
tengah hari. Saat tengah hari dilarang/tidak diperbolehkan menebang pohon
karena merupakan pantangan. Menurut keterangan masyarakat Bulukumba harus
dimulai dengan upacara-upacara besar dan penebangan pohon dilakukan pada saat-saat
tertentu atau hari baik. Untuk bagian-bagian tertentu misalnya untuk
rangka-rangka penguat dinding perahu biasanya dipilih kayu-kayu yang telah
terbentuk secara alami. Pohon-pohon yang melengkung merupakan pilihan utama
untuk membuat rangka-rangka perahu. Lengkungan kayu yang terbentuk secara alami
memudahkan dalam pembuatan rangka. Pemapasan kayu dilakukan sedikit di
sana-sini untuk disesuaikan dengan dinding perahu. Kerangka perahu yang dibuat
dari kayu. Setelah bagian bawah perahu selesai dilanjutkan dengan pemasangan
dinding perahu. Pemasangan papan dasar, papan ini masih termasuk bagian
dasar/papan dasar dari perahu. Ketebalan dari papan dasar ini berbeda. Papan
yang dipasang di bagian bawah harus lebih tebal dari pada yang dipasang di
atasnya. Papan dasar dipasang setelah selesai pemasangan pangepek (pengapit
papan dengan ukuran khusus untuk lunas perahu) , pemasangan papan pertama atau
mul skr (mula sangkara) dan papan kanjai (papan penyambung uru
sangkara/pangepek, berbentuk kait). Papan dasar disambung dengan sistem pen dan
setiap pen berjarak 15-20 cm. Pemasangan rangka perahu bertujuan untuk
memperkuat dinding perahu. Rangka perahu terdiri dari balok-balok dan papan
kayu di bagian bawah dengan berbagai ukuran.
Ø Tahap Pemasangan Rangka
Pemasangan rangka resminya setelah
selesai pemasangan didinding perahu, tetapi untuk menguatkan pemasangan Papan Terasa, maka balok-balok rangka
sudah dapat dipasang setelah Papan Terasa
mencapai ketinggian tertentu yakni urat/lajur keempat atau kelima.
Pemasangan ini dimulai dari bawah dan semakin ke atas ketebalannya
semakin berkurang kegiatan yang penting dalm tahap ini terdiri dari :
1. Eklu (Kelu) yaitu balik/tulang paling bawah
sebagian pengikat papan dasar
2. Penyambung
eklu (Kelu) atau gading
3. Penyambung
sloro (saloro)
4. Elep (Lepe) yaitu kayu penekan gading elep ini
terbagi atas elep kl (lepe kalang)
yaitu tempat kalang bertumpu dan elep bt (lepe
batang) yaitu bagian perut perahu
5. Tju (taju) yaitu tempat mengikat kawat dan
tali-tali perahu
6. Pengikat
lunas depan, belakang, dengan papan dasar Setelah pemasangan rangka perahu dan
dinding perahu, selajutnya dikerjakan bagian belakang perahu. Bagian ini
penting karena di sana terdapat bagian kemudian
yang merupakan “jantung” perahu. Setelah bagian belakang selesai
dilanjutkan dengan pekerjaan bagian yang menghubungkan alm (lamma)
Ø Pemasangan Papan Lamma
Pemasangan papan Lamma merupakan
tahap akhir dari pekerjaan diding/kulit perahu. Papan Lamma dipasang agak
vertical dipasang sesuda selesai pemasangan Baratang dan pandongki’. Bagian
yang dilebihkan sekitar 2 meter melewati Sotting belakang serta bertumpu pada
Baratang dan Pandongki. Bagian yang dilebihkan kebelakang itu akan berfungsi
sebagai “ekor” perahu yang disebut rembasang dan merupakan salah satu cirri khas
perahu pinisi (klasik).
Ø Pemasangan Lepe, Kalang, Bangkeng Salara Dan
Katabang
Lepe ialah lembaran kayu dengan
ukuran khusus yang dipasang diatas balok rangka dan berfungsi untuk
merangkai/saling menguatkan pasangan rangka perahu. Untuk itu diperlukan kayu
yang cukup panjang dan lentur, dengan lebar yang bervariasi, tergantung pada
besarnya perahu. Lajur Lepe yang paling atas disebut Lepe Kalang sebab akan
berfungsi sebagai tumpuan balok kalang.
Setelah selesai pemasangan Lepe
Kalang maka balok Kalang suda dapat dipasangkalnag ialah balokukuran khusus
yang dibentuk agar cembung pada bagian atasnya dan dipasang melintang kiri
kanan perahu, kalang mempunyai fungsi untuk memperkuat dinding perahu.
Pemasangan kalang dimulai pada bagian tengah perahu kemudian dilanjutkan
kedepan dan kebagian belakang.
Kemudian selanjutnya pemasangan
bangkeng salara, beberapa sawi ditugaskan untuk memasang balok pinggiran perah.
Komponen dipasang jika balok kalang suda terpasang seluruhnya. Kemudian
pemasangan katabang dengan teknik merapatkan papan terasa, yaitu dirapatkan
dengan menggunakan Singkolo dan
sambungan papan dilapisi dengan baruk agar
tidak kemasukan air.
Ø Pemasangan Anjong
Tahap Pemasangan Anjo (Anjong), yaitu sebatang balok yang
dipasang mencuat kedepan perahu pinisi.
Ø Peluncuran Perahu
Peluncuran
perahu bisanya dilakukan pada siang hari, dengan memilih hari-hari-hari
tertentu menurut kebiasaan orang Bugis-Makassar.
Selajutnya membuat bagian tiang agung yaitu
kelengkapan perahu setelah didirikan/diluncurkan Kemudian yang terakhir
pembuatan sambungan-sambungan papan dan mendempul. Untuk membuat perahu pinisi
dibutuhkan bahan baku kayu yang diolah dari hutan yang memiliki jenis kayu
tertentu. Oleh karena itu semua hutan memiliki kayu yang sesuai dengan
kebutuhan, maka hutan yang ditunjuk oleh sblu(sambalu) yang artinya pemesan,
diteliti terlebih dahulu apakah cukup tersedia bahan baku kayu yang dimaksud
sesuai jumlah yang dibutuhkan maka akan dicarikan tambahannya pada lokasi hutan
yang lain. Kayu untuk bahan baku perahu harus memenuhi persyaratan baik ukuran
maupun kualitasnya, terutama pada komponen bagian lambung perahu yang selalu
terendam oleh air.
Komponen yang dimaksud adalah lunas,
sotting dan papan terasa (papan keras) harus kedap air, tidak mudah pecah dan
tidak dimakan rutusu (rutusu) yang artinya kutu air. Pada umumnya jenis kayu
yang memenuhi standar kualitas seperti di atas yaitu kayu suryan dalam bahasa
Bugis biti (bitti), dalam bahasa Konjo naknasa, sedangkan dalam bahasa Makassar
katondeng; dalam istilah latinnya, vitoe cavansus reinw. Kayu jenis ini
merupakan yang paling baik, sebab disamping tahan dan tidak mudah pecah juga
mudah diolah. Pemakaian jenis kayu tersebut sebagai bahan baku pembuatan perahu
sudah berlangsung ratusan tahun sehingga seorang budayawan menjulukinya sebagai
“kayu sakral”. Selain jenis kayu naknasa dipergunakan juga kayu jati, kayu
kesambi, kayu ulin atau kayu besi dan kayu bayam. Untuk komponen lainnya
seperti elep (lepe) dan kl (kalang) dapat dipergunakan kayu (cokke) sejenis
kayu bakau dan kayu ecpg (cempaga) untuk bahan papan lm (lamma) yaitu lemah,
kamar dan sebagainya.
Selain merupakan persyaratan jenis kayu
tertentu, diperhitungkan pula kualitas kayu dari segi umurnya. Misalnya kayu
biti/nns (bitti/naknasa) dan jati harus berumur sekitar 40-50 tahunan untuk
bahan baku pembuatan perahu berukuran kecil maka kayu yang berumur 25 tahunan
dianggap memenuhi syarat. Dari suatu batang pohon yang belum ditebang, punggawa
dapat menentukan beberapa potong balok yang dapat diolah. Sehingga dari hasil
perkiraan tersebut punggawa dapat menentukan beberapa pohon kayu yang
dibutuhkan untuk bahan baku pembuatan perahunya. Peralatan yang dimiliki oleh
para pembuat perahu pada masa lalu masih terbatas kepada beralatan yang cukup
sederhana atau tradisional :
1) Bor
2) Gergaji
3) Bortangan
4) Palu-pali
5) Penjepit
6) Talipatron
7) Pahat kecil
8) Palu kayu
9) Syehmat
10) Kampak, dll
Adapun Bahan Tradisional yang dipakai :
1) Pasak kelli
sebagai penyambung antara papan
2) Pasak
tulang sebagai penghubung papan dengan tulang pembuatan rangka perahu
3) Pasak lunas
sebagai lunas dengan pasak pengikat
4) Lem bahan
dari kulit kayu dan air yang di tumbuk berfungsi merapatkan sambunan papan
secara permanen
5) Lepak
dempul dari campuran kapur dan minyak kepala lalu dikentalkan befungsi menutup
ubang kapal. Namun seiring semakin meningkatnya pesanan pembuatan perahu pinisi
khususna dari manca Negara dari sistem kontrak kerja termasuk waktu penyelesain
yang diawali sekitar akhir tahun 1990-an hingga saat ini maka proses pembuatan
dan peralatan yang digunakam sudah mulai banyak untuk mengefesienkan waktu
pembuatan.
C. Upacara Adat Dalam Pembuatan
Perahu Pinisi
Upacara tradisional merupakan tradisi yang
integral dari kebudayaan masyakat, yang berfungsi sebagai pengokoh norma-norma
serta nilai-nilai budaya yang telah dalam masyarakat turun-temurun. Norma-norma
tau nilai-nilai budaya itu ditampilkan dengan peragaan secara symbol dalm bentu
upacara yang dilakukan dengan penuh hikmah oleh masyarakat pendukungnya.
Upacara tradisional dilakukan oleh warga masyarakat dirasakan dapat memenuhi
kebutuhan para anggota, baik secara individu maupun secara komunal.
Untuk menjalin keharmonisan antara
penguasa alam semesta dalam pembuatan perahu pinisi diadakan beberapa upacara
ritual dengan tata cara tertentu yang diwarisi oleh leluhur mereka. Ada tiga
upacara ritual yang dilakukan punggawa/panrita lopi dalam pembuatan perahu
yaitu: upacara menebang lunas atau anb klbiesa (annakbang kalabiseang) yang
pada dasarnya memohon izin restu pada kekuatan gaib agar merelakan kayunya
untuk ditebang. Tampak pada upacara ini perilaku punggawa yang lain dari
biasanya yang memberikan kesan magis. Upacara kedua adalah antr (annattara)
yaitu menyambung lunas yang merupakan symbol “pertemuan” ayah dan ibu sebagai
terciptanya “janin” yang selanjutnya akan diproses menjadi “bayi” dalam bentuk
perahu, ke dalam lubang klbiesa (kalabiseang) dimasukkan material tertentu yang
merupakan symbol isi kandungan “sang ibu”
yang bermakna kekuatan, kemuliaan dan kemakmuran. Mantera yang diucapkan
punggawa merupakan do’a dan spirit yang akan memberikan ketenangan dan harapan
bagi pemilik perahu. Serpihan kayu pnt’ (pannatta’) dibagi dua antara punggawa
dan pemilik perahu, merupakan symbol ikrar dan kesepakatan di antara mereka.
Upacara ketiga dalam pembuatan perahu yaitu amosi (ammossi) upacara ini
merupakan symbol ‘kelahiran sang bayi perahu’ setelah diproses selama beberapa
bulan sejak terbentuknya ‘janin perahu pada upacara antr (annattara).
Upacara ini merupakan upacara sakral,
dimana punggawa/panrita berkerudung putih, asap kemenyan yang mengepul serta
mulut komat kamit membacakan mantera mengendapkan situasi khusuk dan sacra.
Upacara ini diakhiri dengan darah ayam yang dioleskan pada bagian tertentu yang
bermakna kesucian dan kemuliaan. Selama perahu diproses terdapat banyak
pantangan dan pamali yang tidak boleh dilanggar, sebab akan berakibat fatal
bagi kelangsungan hidup perahu.Ada dua motif yang terdapat pemali itu, yakni
motif teknis dan motif magis. Kedua motif ini berkaitan dalam satu pemali,
namun dalam pandangan panrita lopi keseluruhan pemali itu mempunyai motif magis
yang kuat.
ritual-ritual
dalam pembuatan perahu sudah mulai banyak pula ditinggalkan. Selain pengaruh
agama Islam yang telah dianut dengan baik pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan tehknologi juga membawa perubahan-perubahan pada nilai
kepercayaan ang cenderung semakin menipis. Adakalanya dikalangan masyarakat
pembuat perahu seorang atau kelompok melakukan pemujaan secara diam-diam dan
bakan sudah ada yang malu untuk melakukan hal seperti yang dimaksud. Namun
demkian tidak berarti nilai-nilai dasar atau keyakinan dasar dari kepercayaan
nelayan dengan kekuatan gaib yang terdapat di alam ini sudah berubah.
Upacara
- upacara Adat Dalam Pembuatan Perahu Pinisi Di Tanah Beru Bulukumba
a. Upacara menebang lunas anb klbiesa(annakbang kalabiseang)
Klbiesa kalabiseang atau menebang lunas
perahu (balok dasar perahu) merupakan komponen dasar dan utama sebuah perahu,
sebab pada komponen ini akan di letakkan kepingan-kepingan papan sampai
terbentuk perahu pinisi. oleh karena itu kayu untuk bahan lunas harus dipilih
maupun kualitasnya. Tapi ada beberapa pantangan dalam memilih kayu lunas
misalnya tidak boleh menggunakan kayu bekas, atau kayu dari pohon yang jatuh
sendiri, kayu yang hanyut atau kayu yang cacat. Apabila punggawa meninjau hutan
yang memiliki jenis kayu yang akan diolah menjadi bahan baku, yang pertama
dilakukan mencari pohon yang akan dijadikan bahan klbiesa (kalabiseang). Jika
sudah ada pohon yang memenuhi persyaratan di atas, menurut tradisi orang
Bugis-Makassar. Biasanya hari yang dipilih dan dihitung berdasarkan tanggal
islam misalnya hari rabu pertama bulan berjalan pmul arb u(pamula araba).
Pemilihan hari dilakukan jika memulai pekerjaan yang penting seperti upacara
perkawinan, mendirikan rumah dan
sebagainya. rumah dan sebagainya. Setelah ditetapkan hari baik untuk melakukan
penebangan pertama, para sawi menyiapkan perlengkapan/peralatan yang diperlukan
untuk upacara tersebut. Pada dasarnya upacara ini mengandung makna “minta izin”
kepada penghuni hutan/pohon atau penguasa. Hal tersebut diwujudkan dalam
berbagai bentuk tata cara dan perilaku, serta pembacaan mantra/do’a sesaat
sebelum pohon ditebang kemudia dikelilingi pohon tersebut sambil pengamati
peralatan. Kemudian peralatan disandarkan tetap pada posisinya berarti
penebangan dapat dilaksanakan. Jika semua peralatan atau kapak yang disandarkan
tadi apabila jatuh ke tanah, berarti belum ada “izin” dari penghuni hutan.
Dalam keadaan seperti itu, demi menjaga
keharmonisan seperti uraian di atas, maka punggawa harus menyiapkan
sesajiandisebut ker sk (kanre sangka) bersama seekor anak ayam yang baru
menetas untuk dipersembahkan kepada penghuni hutan. Biasanya penebangan pertama
dimulai sebelum tengah hari dengan harapan agar rezeki bertambah naik. Pada
saat kayu sudah mulai roboh, diusahakan arahnya jatuh ke lokasi pembuatan
perahu atau btil (bantilang) dan juga diusahakan agar tidak tersangkut pada
pohon lain. Hal tersebut dilakukan dengan harapan agar pelaksanaan pembuatan
perahu pinisi tidak mengalami halangan atau dapat berjalan dengan lancar. Sesuda
mengelilingi pohon, kemudian punggawa mengambil kapak, selanjutnya mengambil
posisi menghadap matahari. Kemudian mengatur napas dan berkonsentrasi sejenak,
yaitu untuk mengadakan “komunikasi gaib”. Setelah konsetrasi sejenak selesai
dilakukan, selanjutnya panrita membaca mantra:
Pattimbonnako buttayya
Katuhoannakobosiya
BatelamunnakoLukmanulhakim
Allahtaalaanta’bangko
Artinya
Engkauditumbuhkaolehtanah
Engkaudipeliharaolehhujan
EngkauditanamLukmanulhakim
TujuanAllahyang menebangengkau
Setelah selesai membaca mantra dilanjutkan dengan basmala, kemudian
tanpa menggerakkan lidahnya mengucapkan a…i…u… dan menahan napas, punggawa
mulai menetakkan kapaknya Netakan pertama, kapak menghadap ke atas yang
bermakna agar selalu bernasib baik. Setelah cukup tiga kali punggawa menetakkan
kapaknya barulah satu atau dua orang sawi membantu untuk meneruskan penebangan
sampai pohon tersebut roboh. Apabila pohonnya telah roboh, punggawa mengukur
batang pohon dengan menggunakan tapak kaki yang selanjutnya dipotong untuk
dibuat balok yang dibentuk sesuai dengan kegunaannya yang telah dibakukan.
Seperti yang dikatakan oleh salah seorang informan bahwa:
1. Sangat
dipantangkan saat menebang kayu dengan membelakangi matahari karena bayang
bayangan akan jatuh ke pohon yang ditebang. Pohon pertama yang roboh tanpa
halangan merupakan pertanda bahwa pekerjaan selanjutnya akan lancar
2. ker sk’
(Kanre sangka’) yaitu nasi beras pulut yang berwarna putih, kuning, merah dan
hitam (sangka = lengkap), yang disajikan
bersama dengan kalomping yaitu daun sirih yang dibentuk khusus diisi
dengankapurdansekepingpinang
3. Ada
kepercayaan bahwa sesajian dan anak ayam baru menetas merupakan kesenangan
mahkluk halus
4. Pada saat
punggawa melakukan konsentrasi dan mengadakan komunikasi
gaib dengan penghuni hutan, punggawa menanyakan pohon tersebut tersedia untuk
dibuat perahu untuk si “anu”. Setelah mendapatkan persetujuan (isyarat) barulah
dilakukan penebangan. Senada dengan hal tersebut di atas, bagi pelaut terutama
nahkoda kapal mereka harus memiliki ear psobl (erang pasombala) yang merupakan
ilmu supranatural yang wajib dimiliki para pelaut. Disaat perahu yang akan
berlayar, sebelum para sawi turun ke perahu nahkoda melakukan “komunikasi gaib”
dengan sang perahu apakah perahu bersedia untuk membawa seluruh awa perahu dan
penumpang ketempat tujuan dengan selamat. Bila ada “isyarat” dari perahu
tersebut barulah perahu berlayar. Selama dalam pelayaranpun pada saat tertentu
“ilmu tersebut sering digunakan misalnya perahu ingin terhindar dari angin
ribut, badai, dan sebagainya.
Upacara antr (annattara) atau
penyambungan lunas antr annattara mengandung pengertian memotong (dalam bahasa
konjo annatta’ dalam arti memotong), yaitu memot ong/meratakan ujung menyambung
lunas klbiesa (kalabiseang) untuk disambung dengan kedua penyambung depan dan
belakang. Kegiatan ini dilakukan apabila perahu sudah akan niptor (nipatonrang)
yang artinya mulai dikerjakan, dalam kegiatan dilakukan dengan upacara ritual
sejak ratusan tahun lalu. Pada kegiatan
ini terkandung dalam beberapa makna\simbol yang tampak dari berbagai aktivitas
panrita lopi sebagai pelaku utama dari upacara sakral. Seperti diketahui bahwa
lunas perahu terdiri dari tiga potong balok, yang di tengah disebut klbiesa
(kalabiseang) yang disimbolkan sebagai perempuan, dan penyambung merupakan
simbol laki-laki. Dipandang dari segi kekuatan, bila ada balok kayu yang
memungkinkan (memenuhi ukuran) balok lunas dapat tediri dari dari satu batang
balok. Penyambungan lunas antr (annattara) merupakan simbol pertemuan ibu dan
bapak, hal ini berdasar dari kepercayaan bahwa perahu adalah sosok kehidupan
sebagai “manusia” yang memiliki eksistensi.
Bertolak dari kepecayaan tersebut maka penyambunga lunas
dianggap sebagai cikal bakal terciptanya “janin” dalam bentuk perahu, sehingga
harus dilakukan upacara ritual dalam pelaksanaannya. Oleh karena antr
(annattara) merupakan upacara sakral, maka pelaksanaannya dipilih hari- 28
Acara ritual annatta tetap dilakukan dimana lunas disimbolkan sebagai laki-laki,
namun untuk mendaptkan nilai magisnya, panrita yang taat pada aturan dan tata
cara yang telah ditetapkan leluhurnya akan akan tetap memakai lunas yang
terdiri dari tiga otong balok kayu. 40 hari yang baik menurut tradisi suku
Bugis- Makassar dan salah satu diantaranya yaitu hari rabu pertama bulan Islam.
Pelaksanaan upacara juga biasanya dilakukan pada saat matahari sedang rembang
naik dan air laut pasang naik. Agar dapat terpenuhi harapan rezeki akan
bartambah naik atau selalu bernasib baik. Oleh karena klbiesa (kalabiseang)
merupakan ukuran pokok perahu maka penentuan ukurannya dilakukan atas dasar
musyawarah antara penggawa dengan pemilik perahu. Dilakukan sebelum mengolah
bahan baku di hutan, namun sesaat sebelum antr (annattara) ukuran yang telah
disepakati dipertegas kembali. Dalam menentukan ukuran panjang klbiesa
(kalabiseang), sedikitnya ada dua hal yang harus diperhitungkan. Pertama tones
(tonase) perahu, untuk pinisi yang berukuran 30-40 ton maka panjang klbiesa
(kalabiseang) yakni 11 tapak kaki, untuk pinisi yang berukuran 100 ton panjang
lunasnya 17 tapak kaki. Kedua, yaitu nasib perahu.
Panjang lunas yang telah ditetapkan di atas dapat ditambah
atau dikurangi berdasarkan langkh-langkah berikut :
1. msel-sel
Massale-sale(bersenang-senang)
2. sugimnai
Sugimanai(mencari laba)
3.
tlrilauTallangrilau(tenggelam di laut)
4.metribotoMateribonto(mati
di darat)
Ukuran panjang sebuah langkah didasarkan pada lebar permukaan klbiesa
(kalabiseang) ukuran panjang sebuah langkah didasarkan pada lebar permukaan
klbiesa, dibandingkan dengan syarat yang dilakukan oleh orang yang akan membel
atau memesan sebuah keris, dimana langkahnya adalah rezeki, pertemuan dan maut.
Untuk ukuran tiap langkahnya berdasarkan pada lebar empu jari. Pemilik perahu
biasanya lebih menyukai akhir langkah klbiesa (kalabiseang) jatuh pada langkah
met riboto (mate ribonto) atau mati didarat. Menurut kepercayaan mereka kalau
langkah akhir tersebut jatuh pada mslsel(massala-sale) atau sugi mnai (sugi
manai), mereka belum bisa menentukan bagaimana akhir nasib dari perahu bersama
awaknya, apakah tenggelam di laut atau mati di darat. Kalau mati di darat
dikarenakan perahu sudah tua atau lapuk maka yang pasti awak perahu akan
selamat. Hari yang ditentukan, punggawa meletakkan klbiesa (kalabiseang) di
tengah bantilan yang sebelumnya dengan di alas dua potong balok. Bagian
pangkalnya membujur ke laut dan diletakkan sedikit lebih tinggi dari ujungnya
dengan maksud agar perahu tersebut tidak bernasib menurun ttuas (tattuasa).
Sebelum upacara dimulai terlebih dahulu pemilik/sambalu menyiapkan kelengkapan
antara lain dua meter kain putih, sepasang ayam yang sudah dewasa, pisang
ambon/pisang manis, gula, kelapa, beberapa macam kue tradisional dan pedupaan.
Para sawi menyiapkan peralatan yang akan dipergunakan seperti pahat,
palu, gergaji, bor dan sebagainya. Sesaat sebelumnya prosesi upacara dimulai,
panrita mengambil posisi jongkok di ujung kanan klbiesa (kalabiseang) menghadap
ke arah timur berhadapan dengan pemilik perahu. Para sawi turut hadir pada
acara tersebut dan berdiri di belakang punggawa, serta di belakang pemilik
perahu berdiri beberapa calon sawi dan nahkoda perahu. Seluruh kelengkapan
upacara diletakkan disekitar ujung depan klbiesa (kalabiseang) termasuk pedupaan.
Ketika waktu yang dinantikan telah tiba, upacara dimulai yang diawali dengan
pembakaran kemenyan oleh punggawa. Pada saat itu pemilik perahu memasangkan
kain putih di kepala punggawa (seperti kudung). Setelah asap kemenyan
mengepul maka punggawa mengasapi pahat lalu meletakkannya tegak lurus pada
garis batas ujung klbiesa (kalabiseang) dan selanjutnya dengan khusus membaca
mantera sebagai berikut:
Dalle
mambua’ilau
Sibuntulang
kosicini’
Namarannupa’mai’nu
Mammakkang
naha-nahanu
Artinya
Rezeki
datang di Timur
Kamu
bertemu saling memandang
Gembira
perasaanmu
Berhenti
pikiranmu
Selesai membaca mantra, kemudian dilanjutkan dilanjutkan dengan basmalah
dan seterusnya tanpa menggerakkanlidah, panrita, mengikrarkan tiga buah huruf
keraat yakni : a…..i…..u….. dan tepat ketika huruf “u” dibacakan, maka palu
dipukulkan di atas pahat beberapa kali. Serpihan kayu dari tetakan pahat tadi
diambil oleh panrita lalu di bagi dua, separuh diberikan kepada sbluu (sambalu)
separuhnya diambil oleh panrita sendiri lalu memasukkan kedalam mulutnya untuk
“didinginkan”. Pemilik perahu menyimpan serpihan kayu tersebut untuk
selanjutnya dimasukkan kedalam botol berisi minyak kelapa gading dibuat sendiri
oleh pemilik perahu. Buah kelapa gading diambil langsung dari pohon dengan buah
yang manghadap ke arah timur dan terletak tepat diatas pelepah daun. Ujung
klbiesa (kalabiseang) yang telah ditandai dengan pahat, selanjutnya dipotong
menggunakan gergaji tanpa berhenti sampai putus. Kedua ujung lunas dibuat
lubang dengan ukuran tertentu yang merupakan simbol kemaluan perempuan.
Selanjutnya, pada kedua balok penyambung dibuat alat kelamin (pen) yang
besarnya persis sama dengan besarnya lubang pada kedua ujung lunas tadi, dan
ini merupakan simbol kemaluan laki-laki. Sebelum kedua penyambung dihubungkan
dengan klbiesa (kalabiseang) atau lunas, terlebih dahulu dimasukkan material
antara lain: sedikit emas, besi baja, beras/kerak nasi, sedikit tahi ayam yang
semuanya dibungkus dengan kapas. Setelah benda-benda tadi dimasukkan ke dalam
lubang, barulah kedua penyambung yang sudah dibuatkan alat kelamin disambungkan
dengan klbiesa (kalabiseang) atau lunas. Agar tidak kemasukan air, persambungan
lunas dilapisi dengan bru (baruk) atau majun. Di atas kedua ujung lunas yang
telah disambung itu, oleh punggawa diolesi dengan darah ayam yang telah
disiapkan sebelumnya.
Upacara pun selesai ditandai dengan punggawa membasuh muka dengan air
dari cerek. Selanjutnya pemilik perahu menyalami punggawa sembari memberi
“sedekah” serta semua persiapan lainnya seperti ayam, kain dan sebagainya
diberikan kepada punggawa. Seluruh masyarakat yang hadir dengan makanan yang
telah disediakan seperti kue-kue dan pisang. Pada saat semua masyarakat yang
hadir menikmati makanan tersebut, punggawa mengambil sedikit dari tiap jenis
kue dan membungkusnya dengan daun pisang kemudian menguburkannya tepat di bawah
klbiesa (kalabiseang) yang merupakan sesajian persembahan kepada penghuni btil
(bantilang). Kalau ada kayu yang memungkinkan dengan penggunaan klbiesa (kalabiseang)
atau lunas yang hanya terdiri dari satu batang balok akan jauh lebih kuat
dibandingkan dengan yang terdiri dari tiga potong balok kayu yang disambung.
Tetapi punggawa waktu dulu umumnya tetap menggunakan kayu yang terdiri dari
tiga potong balok karena disamping nilai magis seperti uraian terdahulu,
menurut beberapa informan bahwa tiga potong balok lunas ditambah dua buah
sotting adalah simbol dari dua rukun islam dan lima waktu shalat.
1. Serpihan kayu pnt’ (pannatta’)
yang dibagi dua antara dua punggawa dan sbluu (sambalu), merupakan simbol/ikrar
kesepakatan antara mereka, dapat pula bermakna lain. Bagi pemilik perahu
serpihan kayu dapat menjadi “penawar” bila perahu dalam keadaan bahaya misalnya
diamut badai. Tetapi sebaliknya bagi punggawa, serpihan kayu dapat menjadi
“senjata” (ramuan guna-guna) untuk mencelakai perahu apabila hati punggawa
dilukai oleh sblu (sambalu).
2. Material yang dimasukkan kedalam
lubang klbiesa (kalabiseang) atau lunas adalah sebagai simbol isi kandungan
sang “ibu” yang masing-masing bermakna yaitu:
a. Emas
sebagai symbol kemuliaan
b. Besi baja
sebagai symbol kekuatan
c. Beras
sebagai symbol kemakmuran
d. Kotoran
ayam sebagai symbol dipercaya bahwa dapat menagkal ilmu gaib
Kapas rurung-rurung (kapas
sama-sama) sebagai symbol mengandung harapan agar rezeki dapat berkelanjutan. Dari makna simbol di
atas menunjukkan harapan kepada sang perahu agar dapat melahirkan, Kemuliaan,
kekuatan dan kemakmuran serta keberuntungan
3. Darah ayam yang dioleskan pada
persambungan klbiesa (kalabiseang) merupakan simbol kesucian dan keperawanan.
Hal ini dapat dikaitkan dengan pemilihan bahan lunas harus kayu yang utuh/baru,
tidak cacat dan dipantangkan memakai kayu bekas.
Terdapat beberapa versi mantera yang
diyakini oleh panrita lopi yang dipergunakan pada aktivitas ritual pembuatan
perahu. Perubahan isi mantera diakibatkan oleh pengaruh kepercayaan islam,
namun situasi magis dalam setiap upacara ritual tetap seperti yang diwariskan
oleh para leluhur. Pembacaan mantera mengandung nilai yang sangat esensial,
sebab mantera dapat berfungsi sebagai perwujudan niat yang sangat penting bagi
ketentraman batin. Apabila mantera diidentikkan dengan do’a, maka sangat
penting bagi ketentraman batin. Dengan berdo’a kita memupuk rasa optimism
didalam diri manusia serta menjauhkan pesimis dan putus asa. Adapun pembacaan
basmala berarti nilai agama islam selalu dijunjung tinggi setiap aktivitas
pembuatan perahu (dengan tidak meninggalkan tatacara ritual yang bersumber dari
tradisi). Sedangkan pengucapan a….i…u…. para panrita lopi percaya bahwa ketiga
huruf hidup yaitu huruf keramat dan angka tiga itu sendiri dipercaya sebagai
angka kosmos.
Diakibatan pengaruh agama islam yang
begitu kuat, akhir-akhir ini pembacaan ikrar a….i….u…. sering diganti dengan
pembacaan basmalah, namun oleh sebagian panrita ada juga yang menggabungkan
tiga huruf keramat dengan pengucapan basmalah. Perilaku panrita memakai
kerudung putih dengan mulut komat kamit membacakan mantera serta darah ayam
yang muncrat dioleskan pada persambungan lunas, memberikan kesan ritual/magis,
sakral dan suci. Setelah upacara antr (annattara) selesai pekerjaan dilanjutka
dengan memasang papan pegep (pangngepek) atau pengapit, yang akan memperkuat
ketiga potong balok lunas. Sesudah pemasangan pegep (pangngepek) barulah
pekerjaan dilanjukan dengan memasang auru skr (uru sangkara) atau papan
pertama, memasang sotting (linggi) depan dan belakang, kanjai (papan penyambung
uru sangkara/pangepek, berbentuk kait) dan seterusnya sesuai dengan papan
terasa yang sudah ditetapkan oleh panrita. Selama pekerjaan papan terasa, cukup
banyak aturan dan tata tertib yang harus ditaati, baik mengenai ukuran papan
maupun hal-hal lain yang bersifat pantangan. Selama pekerjaan papan terasa ini,
umur perahu dapat diperhitungkan.
Kemudian dapat dilakukan dengan mengukur
permukaan klbiesa (kalabiseang) sebagai acuan, dimana lebar klbiesa
(kalabiseang) diukur pada titik tengah (prtengahan lunas) ke lambung perahu
(susunan papan terasa). Apabila ujung acuan tersebut bertemu pas dengan salah
satu “rapakkang” (persambungan dua buah lajur/urat papan), maka dari
persambungan tersebut dihitung berapa lajur ke bawah yang dilewati dan mereka
percaya bahwa sekian tahun pula umur perahu tersebut. Selain perhitungan umur
perahu dapat diperkirakan dalam pekerjaan papan terasa, terdapat pula pantangan
dan pamali. Salah satu pantangan dalam pemasangan papan terasa merupakan
persambungan papan tidak boleh tepat pada mata kayu. Apabila terjadi tanpa
disengaja biasanya punggawa langsung memberikan penawaran dengan jalan memotong
jengge/balung ayam jantang dan darahnya dioleskan pada mata kayu kemudian mata
kayu dikikis dengan pahat. Menurut panrita lopi pantangan-pantangan dalam
pemasangan papan terasa cukup banyak. Apabila diteliti dapat dilihat adanya dua
motif pada setiap pamali yaitu, motif teknis dan motif magis. Keduanya saling
berkaitan dalam satu pamali dapat pula dilihat bahwa tekanan dari kedua motif
di atas berbeda untuk setiap pamali.namun dalam pandangan panrita kesemua
pantangan memiliki motif magis yang sangat kuat.
Apsili
(Appasili), Appassili adalah suatu acara ritual yang dilakukan pada
malam hari sebelum amosi (ammossi), dan bertujuan untuk menolak bala. Dewasa
ini upacara appassili dilakukan bersama dengan upacara amosi (ammossi), telah
dipengaruhi unsure islam diantaranya dengan pembacaan Barazanji dan sebagainya.
Sebelum upacara dilaksanakan, terlebih dahulu disiapkan kelengkapan antara lain
satu cerek air diambil dari mata air tertentu. Untuk kelengkapan pula seikat
dedaunan yang terdiri dari daun sidGin (sidigin) atau cocor bebekk, siro
(sinrol), th tinps (taha tinappasa), th siri (taha siri), pno-pno
(panno-panno), yang diikat bersama pipi. Ikatan dedaunan dan air tersebut
dipercaya mengandung makna sebagai berikut
:
a. Air yang
diambil dari mata air tertentu, dipercaya bermakna rezeki tidak pernah kering
b. Daun sidGi
(sidingin) mengandung makna pemilik dan awak senantiasa dalam kondisi yang
tenang /tentram.
c. Sirolo (Sinrolo),
sejenis tumbuhan merambat yang pertumbuhannya sangat cepat sehingga diharapkan
akan tetap meningkat.
d. Th tinps
(Taha tinappasa), bermakna untuk menolak ganggung makhluk halus/roh jahat
sehingga terhindar dari amarah bahaya.
e. Th siri
(Taha siri) atau rasa malu/harga diri, diharapkan pemilik perahu memiliki harga
diri dan malu apabila tidak berhasil.
f.
Pno-pno (Panno-panno) atau penuh, merupakan sejenis daun yang
diharapkan bermakna rezeki selalu penuh/barhasil
g. Pipi
(Pimping) yaitu sejenis tebu (batang rumput gajah) yang bila kering sangat
ringan/dapat mengapung bermakna selalu bernasib baik nasib selalu berada dipermukaan. Sebelum
pembacaan barzanji oleh kelompok tertentu terlebih dahulu diadakan makan
bersama yang dihadiri oleh oleh penghulu adat, pemuka agama dan para kerabat.
h. Banyak
orang yang hadir pada malam kelengkapan acara, turut dipersiapkan kue-kue
tradisional yang masingmasing mengandung makna/simbol antara lain gogoso
(gogoso) atau gogos, kolpisi (kolapisi) atau kue lapis, aoed-aoed (onde-onde),
sokolo (songkolo) atau kukus, kdo msikulu (kaddo masingkulu) dan sebagainya.
D. Jalannya Upacara
Adapun
jalannya upacara menurut informan dari salah satu warga yaitu setelah selesai
makan bersama dan perengkapan/bahan untuk upacara sudah siap diatas perahu,
pelaksanaan upacara (anggota barzanji) membacakan barzanji sampai selesai.
Selama pembacaan barzanji, seluruh yang hadir tetap mengikuti dengan khidmat.
Pembaca barzanji mengambil posisi dibagian geladak perahu dan saling
berhadapan. Setelah selesai pembacaan barzanji, seorang guru sr (guru sara)
yang dipanggil khusus, yang dibaca sokobl (songkobala) dan selanjutnya
menghadap ke wajan yang berisi air (diambil dari mata air) dan seikat
daun-daunan untuk membacakan mantera dengan sangat khidmat dan khusyuk. Air
yang diambil dari mata air kemudian dimanterai sambil diaduk-aduk dengan
menggunakan seikat dedaunan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Air yang telah
dimanterai disebut air sokbl (songkabala). Kemudian air dipercikkan ke sekeliling
perahu dengan cara dikibas-kibaskan dengan menggunakan ikatan daundaunan.
Setelah upacara selesai, para tamu kembali dijamu kembali dengan kue
tradisional termasuk pisang ambon yang sudah disiapkan.
Amoso (Ammosi) puncak acara malam
merupakan ammossi yaitu pemberian pada petegahan lunas perahu. Pemberian pusat
berdasarkan kepercayaan bahwa perahu adalah “ana” punggawa/panrita lopi.
Berdasar pada kepercayaan maka upacara amosi (ammossi) merupakan simbol
pemotongan tali pusat bayi yang baru lahir. Pada hakekatnya amosi (ammossi)
merupakan simbol kelahiran “bayi perahu” setelah diproses selama beberap bulan
sejak terbentuknya janin perahu pada upacaraantr (annattara). Dalam malakukan
upacara disiapkan kelengkapan seperti kain putih sekitar dua meter, satu pasang
ayam dewasa, kelapa, pisang ambon, gula merah,cincin emas satu buah, satu buah
kuali, sarung, songkok, baju dan pedupaan. Sebelum prosesi upacara dilakukan,
semua kelengkapan upacara disiapkan disekitar pertengahan lunas perahu yang
merupakan tempat dilaksanakan upacara. Pada saat upacara dilakukan pemilik
perahu duduk sambil berjongkok diposisi disebelah kiri pertengahan lunas
perahu, berhadapan dengan panrita kemudian jongkok diposisi sebelah kanan.
Kemanyanpun dibakar setelah selesai dimantrai
punggawa lalu kain putih dinaikkan ke kepala panrita kerudun oleh pemilik
perahu. Selanjutnya cincin emas yang ditaruh pada sebuah piring kecil
dimasukkan punggawa ke dalam mulutnya kemudian panrita mengasapi pahat
kecil/pa’otere (pahat tua) sambil berkonsentrasi sejenak (berkomunikasi dengan
alam gaib). Sesaat kemudian mulutnya komat kamit membaca mantera: Nabi Sulaiman
tettong riolona lopi, Nabi haidir ajjaga rilaleng risaliweng Artinya : Nabi
Sulaiman berdiri di depan perahu, Nabi Haidir menjaga di dalam dan di luar
secara simbolis bait-bait mantera menujukkan penyerahan sang bayi perahu kepada
dua orang Nabi yaitu Nabi Sulaiman sebagai penguasa bumi dan Nabi Haidir
sebagai penguasa lautan. Kepada kedua nabi inilah punggawa menyerahkan bayi
perahu. Penyerahan kepada kedua Nabi menggambarkan simbol dualistik seperti
kanan dan kiri, siang dan malam, dan menampilkan arti keseimbangan dan harmoni.
Dalam peraturan konstruksi perahu, simbol
dualistik yang menunjukkan keseimbangan dan harmoni banyak didapati, umpamanya
pada klbiesa (kalabiseang) belakang, papan raksasa sebelah kanan harus lebih
tinggi sedikitdari yang kiri, papan terasa yang sebelah atas harus lebih besar
dari yang sebelah bawah. Simbol dualistik semuanya menunjukkan keseimbangan.
Selesai membaca mantera selanjutnya panrita mengaur napas, kemudian mengucapkan
dua kalimat keramat a….i…u…. dan tanpa penarikan napas, tepat pada huruf….u….
pahat dipalu dengan kapak taa tankai untuk membuat segi empat di tengah klbiesa
(kalabiseang), (Kamaruddin (Usia 67
Tahun), Wawancara 15 Januari 2016, Desa Bira Kecamatan Bontobahari Kabupaten
Bulukumba) .
Serpihan kayu bekas pahatan dimasukkan
panrita ke dalam mulutnya. Pada bekas pahatan tadi selanjutnya dibor sampai
tembus ke arah kanan lunas parahu. Di bawah lambung perahu seorang sawi siap
menampung serbuk bor dengan kuali yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setelah
klbiesa (kalabiseang) tembus dengan bor, serpiahan kayu tadi dikeluarkan dari
mulutnya, selanjutnya punggawa berkumur dengan air dari cerek dan menyemburkan
pada lubang klabiesa (kalabiseang) Prosesi selanjutnya adalah pemilik perahu
menyerahkan sepasang ayam kepada panrita, kemudian dipotong balung/jenggernya.
Darahnya dioleskan disekitar pusat perahu, diujung depan dan belakang klabiesa
(kalabiseang). Akhir dari seluruh rangkaian prosesi upacara ditandai dengan
panrita membasuh depannya tepat di atas lubang posi (possi) Serbuk bor dan air
yang keluar melalui luang possi, ditampung dalam kuali dan selanjutnya disimpan
dalam botol bersama serpihan kayu pnt (pannatta) dan pmosi (pammossi) kemudian
selanjutnya miy lopi (minnyak lopi) atau minyak perahu botol digantung pada elr
(lenra) atau bek slr (bangkeng salara) bagian depan di bawah ktb (katabang).
Menurut kepercayaan, minyak tersebut dapt
digunakan sebagai penawar apabila perahu dalam keadaan/situasi bahaya misalnya
saat diamuk badai dalam pelayaran dan sebagainya. Setelah seluruh rangkaian
upacara dilakukan, semua yang hadir dipersilahkan mencicipi kue-kue, dan
sebagainya. Pemilik perahu kemudian menyalami panrita dengan memberikan sedekah
seperti uang. Termasuk ayam, kuali dan ppsiGi (pappisalingi) serta yang telah
dipersiapkan, acara berikutnya adalah apker bl’pti (appakanre balla; pati),yang
dipimpi oleh seorang “guru sara”. Di atas hamparan tikar sang guru duduk di
atas blo ng-ng (balok naga-naga), posi (possi) yang baru dibuat tadi. Sambil
membakar kemanyan sang guru mulai membaca mantera. Pemilik perahu suami istri
duduk di sebelah kanan guru sedangkan nahkoda disebelah kirinya menghadap
haluan perahu. Setelah selesai membaca do’a, istri pemilik perahu memberikan
seekor anak ayam yang baru menetas, kemudia sang uru memotong leher anak ayam
tersebut dicincang sampai lumat. Sebuah jantung pisang juga dicincang sampai
lumat dan selanjutnya keduanya dicampur dan diaduk. Adukan tersebut selanjutnya
dibungkus dengan menggunakan daun pisang dalam beberapa bungkusan. Selanjutnya
diletakkan pada tempat tertentu yaitu dipusat perahu, pada persambungan lunas
dan penyambung depan dan belakang, pada tajuk dikiri dan kanan perahu.
Selanjutnya istri pemilik perahu mengeluarkan ker sk (kanre sangka) atau nasib
lengkap dengan lauknya). Makan ini ditaruh di atas daun pisang, dan sambil
membaca do’a sang guru membela dua makanan tadi dan membungkusnya. Bungkusan
pertama diletakka nahkoda pada pertemuan klbiesa (kalabiseang) dan penyambung
depan sedangkan yang sebungkus lagi ada pertemuan penyambung belakang.
Keterangan
:
a. Penggunaan
pahat tua p’aoeter (pa’otere) yang dipalu dengan kapak tanpagagang, menandakan
bahwa panrita masih sangat terikat / menghargai aturan lama dari leluhur.
b. Hasil
pemboran pusat ini dapat diramalkan umur perahu sebagai berikut :
1. Apabila
lubang bor jauh ke bawah/mendekati pinggir bawah lunas diyakini umur perahu akan
panjang, akan tetapi bila terjadi sebaliknya (agak jauh di atas) umur perahu
akan pendek.
2. Kalau
lubang posi (possi’) tembus ke dasar, diramalkan umur perahu akan panjang
tetapi dapat berakibat buruk pada punggawa.
3. Suatu
situasi gawat yang menimpa pinisi ammana gappa dalam misi pelayarannya, nahkoda
melakukan sesuatu pada lambung perahu, yang pada akhirnya perahu selamat sampai
di Madagaskar.
4. Menebang
lunas membuat posi (possi) sebenarnya bertentangan dengan logika tehnik karena
dapat mengurangi kekuatan klbiesa (kalabiseang). Barang kali ada sementara
orang/pemilik perahu yang berpendapat demikian, utamanya mereka yang fanatik
pada paham tertentu dan menganggap ritual seperti itu bertentangan dengan
agama.
5. Dalam
pertukangan perahu, sikap panrita menempatkan nilai-nilai magis di atas
nilai-nilai teknis telah berpengaruh pada tingkah laku, pola pikir, dan
kecenderungan dalam melakukan tindakan. Dalam kadudukan syarat-syarat, pamali,
atau yang banyak bernilai magis lebih diutamakan dalam banyak kegiatan pertukangan
dari perhitungan teknis.
Umpamanya pada pemasangan lunas yang
terdiri dari dari tiga potong, ada kayu balok yang cukup panjang, akan tetapi
untuk mendapatkan nilai magisnya (ammossi), yaitu pemberian pusat dari tiga
potong, ada kayu balok yang cukup panjang panjang, akan tetapi untuk
mendapatkan nilai magisnya, maka lunas yang terdiri dari tiga potong yang
digunakan. Begitupan pada prosesi amoso (ammosi), yaitu pemberian pusat pada
perahu dimana lunas dilubangi pada saat perahu akan diluncurkan, tindakan
nampaknya bertentangan dengan logika teknik, tetapi hal hal ini tetap dilakukan
tindakan nampaknya bertentagan dengan logika teknik, tetapi hal ini tetap dilakukan karena
pertimbangan dengan logika teknik, tetapi hal ini tetap dilakukan karena pertimbangan
magis.
Peralatan
tradisional dan modern dalam membuat perahu :
·
Kapak pangkulu Wase, alat menebang kayu, memotong, membentuk
komponen perahu dsb.
·
Gergaji Karakkaji Gragaji alat memotong dan membelah kayu
·
Bor bo’ paggoro’ alat melubang kayu
·
Pahat pa’ pa’ alat melubang kayu
·
Parang berang bangkung alat pemotong kayu
·
Singkolo alat merapatkan papan
·
Palu kayu, palu-palu yang terbuat dari kayu kesambi alat pemukul
(pasangan pahat)
·
Bassi’ becci’ Tali kecil untuk menandai bagian yang akan
dipotong/dibelah
·
Palu besar saku’ saku’ palu kayu besar untuk pealu saat pemasangan
papan
·
Pacul genggam bingkung paleppeng alat untuk meratakan papan
·
Pana-pana sepotong kawat kurang lebih 2 meter untuk membuat pola
lingkungan rangka perahu
·
Ketam kattang alat untuk menghaluskan papan
·
Martil palu bassi alat untuk pemalu
·
Chain saw sinso senso gergaji mesin untuk memotong dan membelah
kayu
·
Ketam listrik alat menghaluskan kayu
·
Bor listrik alat melobang kayu
·
Chain block takala alat untuk menarik
Sampai sekarang peralatan sederhana/tardisional
masih tetap digunakan. Sejak tahun 1980-an peralatan modern seperti chain saw,
ketam listrik, bor listrik, cahain block/katrol (takal). Penggunaan peralatan
modern tersebut akan menghemat tenaga dan mempercepat proses pembuatan perahu
pinisi. penggunaan chain saw, misalnya dalam pengolahan kayu diperkirakan dapat
menghemat waktu dan tenaga sekitar 80 %, apabila dibandingkan dengan hanya
enggunakan kapak. Adapun perubahannya yang dialami perahu pinisi dari segi
bentuk luar, dari segi keindahan hamper tak mengalami perubahan hanya saja
konstriksi bagian dalam sedikit mengalami perubahan sebagai akibat pemasangan
mesin tau motorisasi.
Perubahan
atau penambahan konstruksi bagian dala ini khususnya pada body perahu antara
lai :
o
Pengurangan ruang palka
untuk menjadi ruang mesin
o
Pembuatan jendela untuk peneangan kamar mesin, pipa udara dan
ventilasi
o
Penambahan / penguatan pada irisan lobang palka digeladak yakni
penambahan balok yang melintang dan membujur dilubang palka
o
Penambahan moor atau baut, sekrup pada ikatan kulit dan gading
serta dengan balok geladak.
o
Penguatan pada sambungan balok geladak dan gading
o
Penguatan/pemasangan sepatu lunas dari plat baja panjang,
sepanjang lunas, bila perlu penguatan pada hubungan dek dengan tiang layar
o
Kemudian akibat pemasangan mesin perlu dipasang :
o
Fondasi mesin termasuk khusus sebagai tambahan ruang serta
balok-balok membujur
o
Pemasangan dek mesin
o
Penerobosan lubang poros pada lunas
o
dan pemasagan sarung poros serta
duduknya
o
pembuatan dan pemasangan balok di gladak dan gadin-gading
peraatanya.
o
Pemasangan balok-balok pengisi
o
Pemasangan tangki bahan bakar, minyak lintir dan air tawar
o
Pemasangan pipa pompa 3 buah
o
Pemasangan sink stuk
o
Pemasangan alat pemadam kebakaran
o
Untuk mengarungi getaran mesin pada body perahu, diperlukan mesin
dengan putaran rendah.
Demikian penjeasan mengenai “Perahu dan
Ritual Pembuatannyadi Tana Beru Bulukumba” Sulawesi Selatan, semoga bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
Nirmala Dewi, “Upacara
Pembuatan Perahu Di Kecamatan Bontobahari Bulukumba”, Skripsi Makassar Fak. Adab dan Humaniora UIN Alauddin, 2016 .
Nirmala Dewi, “Upacara Pembuatan Perahu
Di Kecamatan Bontobahari Bulukumba”, Skripsi
(Makassar Fak. Adab dan Humaniora UIN Alauddin, 2016). h. 5
Muhammad Arief Saenong, Pinisi
: Paduan Teknologi dan Budaya ; Yogyakarta: Ombak, 2013
Nirmala Dewi, “Upacara Pembuatan Perahu
Di Kecamatan Bontobahari Bulukumba”, Skripsi
(Makassar Fak. Adab dan Humaniora UIN Alauddin, 2016) . h. 42
Nirmala Dewi, “Upacara Pembuatan Perahu
Di Kecamatan Bontobahari Bulukumba”, Skripsi
(Makassar Fak. Adab dan Humaniora UIN Alauddin, 2016) . h. 59