Senin, 11 Juni 2018

Sang Elitis Bejat
Oleh Riska

kami yang di kebirikan
dari para kaum elitis
yang mengeksploitasi  suara kami
setelah mahkota menyapanya
mereka lupa dan membuat kami nirguna dari bumiku

Bibir ini membisu, tak banyak kata yang dapat terucap
Tak banyak gerak yang dapat disajikan
Ingin rasanya berlari dari kefanaanya
Yang merepsif gerakku

Kuderdiam, berkontemplasi
Dalam gegeran yang mereka ciptakan
ku tuangkan semua hal dalam bukuku
hanya penaku yang bisa melukiskan rauk pauknya
sang elitis bejat

Jumat, 16 Maret 2018

Cinta yang menghilang

cinta yang kau titipkan padaku kini kau baMYPENASELAYAR.COMhttp://Cintayangmenghilang.comwa kepada orang lain.

PERAHU DAN RITUAL PEMBUTANNYA DI TANA BERU BULUKUMBA



PERAHU DAN RITUAL PEMBUTANNYA DI TANA BERU BULUKUMBA

     Negara Republik Indonesia memiliki aneka ragam budaya, latar belakang sejarah, keindahan alam dan tata hidup masyarakat yang merupakan daya tarik wisata yang tersebar diberbagai wilayah Nusantara, sehingga banyak menarik minat untuk para peneliti. Walaupun Bangsa Indonesia berasal dari nenek moyang yang sama, akan tetapi karena wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan dimana satu pulau dengan pulau lainnya dipisahkan oleh lautan, maka hal demikian menyebabkan timbulnya berbagai perbedaan tata hidup, budaya dan bahasa antar sekelompok masyarakat/suku. Seperti pada sisi budaya di dunia laut yaitu perahu tradisional yang terdapat di berbagai wilayah Indonesia. Perahu tradisional yang dimaksud adalah perahu yang cara pembuatannya dikerjakan berdasarkan pengalaman yang diwariskan oleh leluhurnya. Di samping itu perahu tradisional dibuat dengan bahan baku kayu yang dapat diperoleh secara mudah diberbagai tempat Indonesia. Sedangkan sebutan perahu mengacu pada keberadaan eksistensi perahu tersebut yang dapat ditemukan diberbagai wilayah Indonesia karena setiap pulau atau etnis tertentu yang hidup didekat pantai, danau dan sungai tentu memiliki perahu tradisional.
      Adapun perahu tradisional menurut para ahli berasal dari perahu bangsa Austronesia
dalam bentuk perahu cadik, terus berkembang secara perlahan-lahan sesuai dengan alam lingkungan dimana perahu itu berada. Perahu cadik bentuknya menyerupai perahu sampan, tetapi dibuat lebih besar dan lebih panjang. Pada bagian sisi kanan duPERAHU DAN RITUAL PEMBUTANNYA DI TANA BERU BULUKUMBAa dan kirinya dibuat oleh keseimbangan. Alat keseimbangan tersebut dibuat dari batang bambu. Perahu tradisional sangat menarik bukan hanya karena perahu tersebut merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan trasportasi dalam menunjang kemudahan untuk bergerak baik untuk mencari makanan, berdagang, menangkap ikan, mutiara maupun hasil laut lainnya, tetapi penting pula dalam kaitannya dengan konsepsi kepercayaan. Perahu juga biasa dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa perjalanan arwah setelah arwah tersebut meninggalkan raganya. Pembahasan tentang perahu yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa, khususnya yang menyangkut asal mula, daerah pembuatan, siapa yang membuat, kapan dibuat, dan dimana dibuat. Kapan mulai muncul dan gejala apa yang menjadi bukti keberadaan perahu tersebut. Perahu pinisi yang diciptakan seperti yang banyak dilihat di Tanah Beru Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan ini sudah dikenal sampai ke manacanegara. Perahu pinisi telah dibeli oleh orang untuk berbagai keperluan. Kapal pinisi dengan berbagai ukuran telah dibuat dengan ciri-ciri khas Sulawesi Selatan. Pada tahun 1989 seorang pelaut Jerman Hans Schwart membeli perahu yang indah untuk dibawa ke negerinya. Michael Chan seorang warga Inggris tahun 1991 membeli dan membawa perahu Pinisi ke negerinya. Tahun 1992 Yamamoto Yushiki warga negara Jepang menggunakn pinisi untuk keliling dunia1. Bahkan tahun 1994 seorang arkeolog Singapura telah membeli perahu pinisi Bulukumba.
     Perahu inilah yang membuktikan Indonesia dahulu adalah negara maritim yang besar dengan budaya pelaut dan pembuat kapal yang tangguh. Awalnya, perahu Pinisi pelaut Indonesia mengandalkan angin sebagai pendorong laju perahu. Karenanya, perahu Pinisi dahulu menggunakan layar pada bagian depan dan belakang. Seiring dengan makin berkembangnya peradaban, perahu Pinisi kini sudah ada yang menggunakan mesin motor diesel sebagai tenaga pendorongnya. Secara garis besar, terdapat tiga bagian dalam perahu Pinisi, yaitu bagian atas, bagian utama, dan bagian belakang, sementara, bagian bawahnya dilapsi oleh fiber kras sehingga bisa menahan air. Yang menarik, walaupun pembuatan perahu Pinisi sudah terpengaruh modernisasi ritual-ritual dalam pembuatan perahu masih terus dilakukan.





A.Perahu
Pengertian Perahu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti yaitu kendaraan air (biasanya tidak bergeladak yang lancip pada kedua ujungnya dan lebar ditengahnya). Namun pada sub bahasan materi ini adalah mengenai perahu yang kerap kali disebut dengan Pinisi. Pinisi adalah kapal layar tradisional yang khasnya itu dari daerah Bulukumba, Sulawesi Selatan. Berikut akan di jelaskan mengenai sejarah asal muasal hingga proses pembuatan perahu tersebut.
sumber gambar http://google.com

Daerah Tempat Perahu Di Buat
     Disebuah tempat di Kampung di Tana Beru Bulukumba, Sulawesi Selatan Beberapa kelompok masyarakat Bugis membuat perahu yang dikenal dengan sebutan nama Pinisi[1] karena bentuk yang dibuat seperti perahu model pinisi nusantara. Kapal pinisi adalah kapal tradisional di daerah Bulukumba tepatnya daerah ini 170 km kearah tenggara Makassar konon kapal ini sudah ada cikal bakalnya sejak abad ke 7. Kapal tradisional rakyat bugis Tanah Beru Kabupaten Bulukumba ini perahu aslinya terbuat dari kayu ulin untuk lunas perahu dan kayu biti namasa, manga dan tembaga untuk bagian lain perahu. Ciri utama perahu ini adalah bentuk perahu menggunakan prinsip lambur g dari belah sabut kelapa, dilengkapi 7 buah layar depan 2 buah layar utama 2 buah layar puncak ukuran panjag =37 m dan tinggi layar 12 m lebar 8 m serta berat 120 ton. Kapal pinisi nusantara pada tahun 1986 berhasil mencatat sejarah baru berupa berlayar dari Jakarta ke Vancouver Canada dengan jarak tempuh 11.000 mil laut. Selama 68 hari.
     Pinisi nusantara dibuat secara khusus agar mampu mengarungi samudra pasifik dengan rute pelayaran Jakarta – Bitun - Vancouver  Canada 11.000 mil laut selama 68 hari[2]. Ekspedisi ke Vancouver dinahkodai oleh captain. Gita Tedja Kusuma dengan 11 orang anak buah kapal (ABK) yang pelaut alam Bugis, Jawa, Sunda, Padang dan Timor. Dengan mengutamakah kebersamaan, kesetiakawanan, tanggungjawab serta disiplin yang tinggi,  mereka mampu melaksanakan misi sejarah  dengan selamat. Tantangan laut pasifik sanggup mereka takluki. Setelah berhasil sampai di Vancouver pinisi nusantara masi mampu berlayar lagi ke San Diego USA sejauh lebih kurang 1000 mil laut selama 2 minggu. Ekspedisi lanjutan tersebut sekaligus membuktikan catatan sejarah bahwa di Acapolco, Maksiko telah ditemukan fosil perahu jenis phinisi.
     Tidak hanya itu perahu ini pada waktu perang Makassar terjadi, juga tercatat bahwa perahu di Bulukumba juga ikut terlibat dalam sejarah yang dimana pada saat pasukan Bone menyerang ke berbagai pos-pos peperangan yang ada di Makassar. Dengan bantuan perahu yang ada di Bulukumba mampu mengatasi musuh karena pada waktu itu pasukan Bone sangat besar sehingga para kepala daerah yang diangkat Belanda diusir ke Sageri yang dimana ekspedisi kekuatan Bone semakin dekat ke pos-pos Belanda di selatan Bontain dan Bulukumba. Sehingga pertahanan pasukan  Bone di Bulukumba sangat kuat dengan dilengkapi 50 benteng, kemudian tanggal 5 februari 1825, Belanda berangkatkan serdadunya bersama-sama pasukan bantuan dari raja-raja bumi putra melalui laut ke Bontaian dan selanjutnya menuju ke Bulukumba dengan menggunakan perahu-perahu kecil untuk menghancurkan kekuatan Bone ini[3]. Jadi perahu – perahu Bulukumba sejak dari dulu sudah banyak mencatat hal-hal sejarah yang posistif dan membanggakan.
     Adapun info bahwa perahu yang sangat terkenal dari daerah ini adalah perahu jenis Palari dan Perahu Selompong. Jenis perahu sebelum pinisi yang menarik adalah perahu Pa’dewakang. Pada saat ini keahlian pembuatan perahu tradisional Sulawesi Selatan diperoleh dengan cara diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Keahlian pembuatan perahu terbatas hanya masyarakat Ara, Lemo-lemo dan Bira. Hal ini sangat erat kaitannya dengan lagenda yang terbesar diluar sana. Dahulu kala ada perahu yang dikenal dengan perahu Sawerigading yang merupakan perahu milik seorang yang sangat sakti.Perahu tersebut lunasnya terdampar di pantai Ara, sottingnya terdampar di Lemo-lemo, sedangkan layar dan tali temalinya di Bira. Oleh karena itu keahlian perahu hanya dimiliki oleh penduduk yang tinggal di daerah, dimana terdapat bagian dari perahu Sawerigading yang rusak tersebut. Pinisi dapat dikatakan symbol dan lambang dari suatu kemajuan teknik yang luar biasa dan tetap didasari oleh nilai nilai seni yang tinggi dan budaya yang bersifat tradisional. Karena sifat dari perahu pinisi tidak hanya dipergunakan sebagai sarana angkut semata-mata atau sarana yang komoditi ekspor yang tinggi nilainya, tetapi juga merupakan sesuatu yang bersifat simbolik. Karena sifatnya yang simbolik maka dalam usaha pembuatannya maupun dalam proses-proses peluncurannya dan pemanfaatannya yang diperlukan dalam upacara tradisional yang dilandasi oleh kepercayaan suatu kekuatan.
Namun jangan sampai sebuah kepercayaan suatu kekuatan yang membuat kesyirikan terhadap Allah Swt. Firman Allah dalam QS. Al Isra/17:66

             
ÇÏÏÈ $VJŠÏmu öNä3Î/ šc%x. ¼çm¯RÎ) 4 ÿ¾Ï&Î#ôÒsù `ÏB (#qäótGö;tGÏ9 ̍óst7ø9$# Îû šù=àÿø9$# ãNà6s9 ÓÅe÷ムÏ%©!$# ãNä3š/§
 Terjemahnya: Tuhan-mu adalah yang melayarkan kapal-kapal di lautan untukmu, agar kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya.Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang terhadapmu
     Berdasarkan ayat yang dipaparkan di atas kita melihat bahwa Allah telah memberikan ayat-ayat yang cukup jelas tentang laut, dan manfaatnya. Dimulai dari mengingatkan akan kapal-kapal yang berlayar di lautan dengan membawa barangbarang dagangan sebagai aktivitas perdagangan mereka. Semua itu adalah satu diantara tanda kebesaran-Nya. Kemudian Allah mengingatkan bahwa masing-masing dari semua ini cukup memalingkan orang-orang musyrik dari kemusyrikan yang sedang mereka lakukan. Allahlah yang telah menundukkan kapal dari segala goncangan ombak dan badai serta gangguan lain agar manusia dapat mengambil sebagian dari karunia-Nya dengan cara berlayar.[4] Untuk menunjang kegiatan mereka sebagai pelaut, menggunakan alat transportasi perairan yaitu perahu. Ada berbagai jenis perahu yang dipergunakan orang Bugis-Makassar sejak dahulu, yang kesemuanya dibuat oleh komunitas orang Konjo  Kabupaten Bulukumba, diantaranya yaitu Pa’dewakang, Pajala, Lambo’, Palari dan Pinisi yang telah mengarungi perairan Nusantara. Bahkan lebih jauh dari itu mereka telah berlayar sampai ke Srilanka, Madagaskar, Philipina dan Austaralia Utara untuk berdagang. Pembuatan perahu pinisi dalam berbagai jenis perahu lainnya nampaknya memang sederhana. Akan tetapi jika telusuri dan dikaji secara mendalam pembuatan perahu tersebut telah direncanakan dengan sangat matang, mulai dari penentuan ukuran tiap komponen, penentuan jumlah bahan, pemilihan jenis dan kalitas kayu untuk komponen tertentu dan sebagainya.

B. Tradisi Pembuatan Perahu
    Pembuatan Perahu Pinisi diawali :
Ø  Penebangan Pohon


Sumber gambar :http://google.com
     Penebangan pohon yang sudah dipilih sesuai dengan tukangnya. Paling penting adalah mencari pohon yang dapat dijadikan lunas perahu (balok dasar perahu) serta dua buah penyambungnya untuk ke depan dan ke belakang. Penebangan pohon dilakukan pada saat-saat yang tepat dan hari yang baik maupun jam saat penebangan. Saat penebangan kayu biasanya sebelum tengah hari. Saat tengah hari dilarang/tidak diperbolehkan menebang pohon karena merupakan pantangan. Menurut keterangan masyarakat Bulukumba harus dimulai dengan upacara-upacara besar dan penebangan pohon dilakukan pada saat-saat tertentu atau hari baik. Untuk bagian-bagian tertentu misalnya untuk rangka-rangka penguat dinding perahu biasanya dipilih kayu-kayu yang telah terbentuk secara alami. Pohon-pohon yang melengkung merupakan pilihan utama untuk membuat rangka-rangka perahu. Lengkungan kayu yang terbentuk secara alami memudahkan dalam pembuatan rangka. Pemapasan kayu dilakukan sedikit di sana-sini untuk disesuaikan dengan dinding perahu. Kerangka perahu yang dibuat dari kayu. Setelah bagian bawah perahu selesai dilanjutkan dengan pemasangan dinding perahu. Pemasangan papan dasar, papan ini masih termasuk bagian dasar/papan dasar dari perahu. Ketebalan dari papan dasar ini berbeda. Papan yang dipasang di bagian bawah harus lebih tebal dari pada yang dipasang di atasnya. Papan dasar dipasang setelah selesai pemasangan pangepek (pengapit papan dengan ukuran khusus untuk lunas perahu) , pemasangan papan pertama atau mul skr (mula sangkara) dan papan kanjai (papan penyambung uru sangkara/pangepek, berbentuk kait). Papan dasar disambung dengan sistem pen dan setiap pen berjarak 15-20 cm. Pemasangan rangka perahu bertujuan untuk memperkuat dinding perahu. Rangka perahu terdiri dari balok-balok dan papan kayu di bagian bawah dengan berbagai ukuran.

Ø  Tahap Pemasangan Rangka
Pemasangan rangka resminya setelah selesai pemasangan didinding perahu, tetapi untuk menguatkan pemasangan Papan Terasa, maka balok-balok rangka sudah dapat dipasang setelah Papan Terasa mencapai ketinggian tertentu yakni urat/lajur keempat atau kelima.[5]
Pemasangan ini dimulai dari bawah dan semakin ke atas ketebalannya semakin berkurang kegiatan yang penting dalm tahap ini terdiri dari :
1.      Eklu (Kelu) yaitu balik/tulang paling bawah sebagian pengikat papan dasar
2.      Penyambung eklu (Kelu) atau gading
3.      Penyambung sloro (saloro)
4.      Elep (Lepe) yaitu kayu penekan gading elep ini terbagi atas elep kl (lepe kalang) yaitu tempat kalang bertumpu dan elep bt (lepe batang) yaitu bagian perut perahu
5.      Tju (taju) yaitu tempat mengikat kawat dan tali-tali perahu
6.      Pengikat lunas depan, belakang, dengan papan dasar Setelah pemasangan rangka perahu dan dinding perahu, selajutnya dikerjakan bagian belakang perahu. Bagian ini penting karena di sana terdapat bagian kemudian  yang merupakan “jantung” perahu. Setelah bagian belakang selesai dilanjutkan dengan pekerjaan bagian yang menghubungkan alm (lamma)

Ø  Pemasangan Papan Lamma

Pemasangan papan Lamma merupakan tahap akhir dari pekerjaan diding/kulit perahu. Papan Lamma dipasang agak vertical dipasang sesuda selesai pemasangan Baratang dan pandongki’. Bagian yang dilebihkan sekitar 2 meter melewati Sotting belakang serta bertumpu pada Baratang dan Pandongki. Bagian yang dilebihkan kebelakang itu akan berfungsi sebagai “ekor” perahu yang disebut rembasang dan merupakan salah satu cirri khas perahu pinisi (klasik).[6]

Ø  Pemasangan Lepe, Kalang, Bangkeng Salara Dan Katabang
Lepe ialah lembaran kayu dengan ukuran khusus yang dipasang diatas balok rangka dan berfungsi untuk merangkai/saling menguatkan pasangan rangka perahu. Untuk itu diperlukan kayu yang cukup panjang dan lentur, dengan lebar yang bervariasi, tergantung pada besarnya perahu. Lajur Lepe yang paling atas disebut Lepe Kalang sebab akan berfungsi sebagai tumpuan balok kalang.
Setelah selesai pemasangan Lepe Kalang maka balok Kalang suda dapat dipasangkalnag ialah balokukuran khusus yang dibentuk agar cembung pada bagian atasnya dan dipasang melintang kiri kanan perahu, kalang mempunyai fungsi untuk memperkuat dinding perahu. Pemasangan kalang dimulai pada bagian tengah perahu kemudian dilanjutkan kedepan dan kebagian belakang.
Kemudian selanjutnya pemasangan bangkeng salara, beberapa sawi ditugaskan untuk memasang balok pinggiran perah. Komponen dipasang jika balok kalang suda terpasang seluruhnya. Kemudian pemasangan katabang dengan teknik merapatkan papan terasa, yaitu dirapatkan dengan menggunakan  Singkolo dan sambungan papan dilapisi dengan baruk agar tidak kemasukan air.

Ø  Pemasangan Anjong
Tahap Pemasangan Anjo (Anjong), yaitu sebatang balok yang dipasang mencuat kedepan perahu pinisi.

Ø  Peluncuran Perahu
Peluncuran perahu bisanya dilakukan pada siang hari, dengan memilih hari-hari-hari tertentu menurut kebiasaan orang Bugis-Makassar.


     Pemasangan Tiang Layar (Tiang Utama) Salah satu cirri khas peraahu pinisi ialah memakai dua tiang layar. Kedua tiang ini biasanya dipasang sesudah acara peluncuran perahu. Pallajareng-konjo )tiang agung /utama) bertumpu pada bangkeng salara (dali / salendra) dan tiang depan memekai panumbu’. Bentuk balok tiang layar bulat, termasuk Baud an Lajo/tiang yaitu sambungan tiang agung lainnya ialah pampang , dulang-dulang, dan bagang. Tiang agung pallanjareng dikatkan dengan bannangberapuli, yaitu kawat bajayang dipasang permanen serta talitemali lainnya.[7]
     Selajutnya membuat bagian tiang agung yaitu kelengkapan perahu setelah didirikan/diluncurkan Kemudian yang terakhir pembuatan sambungan-sambungan papan dan mendempul. Untuk membuat perahu pinisi dibutuhkan bahan baku kayu yang diolah dari hutan yang memiliki jenis kayu tertentu. Oleh karena itu semua hutan memiliki kayu yang sesuai dengan kebutuhan, maka hutan yang ditunjuk oleh sblu(sambalu) yang artinya pemesan, diteliti terlebih dahulu apakah cukup tersedia bahan baku kayu yang dimaksud sesuai jumlah yang dibutuhkan maka akan dicarikan tambahannya pada lokasi hutan yang lain. Kayu untuk bahan baku perahu harus memenuhi persyaratan baik ukuran maupun kualitasnya, terutama pada komponen bagian lambung perahu yang selalu terendam oleh air.
     Komponen yang dimaksud adalah lunas, sotting dan papan terasa (papan keras) harus kedap air, tidak mudah pecah dan tidak dimakan rutusu (rutusu) yang artinya kutu air. Pada umumnya jenis kayu yang memenuhi standar kualitas seperti di atas yaitu kayu suryan dalam bahasa Bugis biti (bitti), dalam bahasa Konjo naknasa, sedangkan dalam bahasa Makassar katondeng; dalam istilah latinnya, vitoe cavansus reinw. Kayu jenis ini merupakan yang paling baik, sebab disamping tahan dan tidak mudah pecah juga mudah diolah. Pemakaian jenis kayu tersebut sebagai bahan baku pembuatan perahu sudah berlangsung ratusan tahun sehingga seorang budayawan menjulukinya sebagai “kayu sakral”. Selain jenis kayu naknasa dipergunakan juga kayu jati, kayu kesambi, kayu ulin atau kayu besi dan kayu bayam. Untuk komponen lainnya seperti elep (lepe) dan kl (kalang) dapat dipergunakan kayu (cokke) sejenis kayu bakau dan kayu ecpg (cempaga) untuk bahan papan lm (lamma) yaitu lemah, kamar dan sebagainya.
     Selain merupakan persyaratan jenis kayu tertentu, diperhitungkan pula kualitas kayu dari segi umurnya. Misalnya kayu biti/nns (bitti/naknasa) dan jati harus berumur sekitar 40-50 tahunan untuk bahan baku pembuatan perahu berukuran kecil maka kayu yang berumur 25 tahunan dianggap memenuhi syarat. Dari suatu batang pohon yang belum ditebang, punggawa dapat menentukan beberapa potong balok yang dapat diolah. Sehingga dari hasil perkiraan tersebut punggawa dapat menentukan beberapa pohon kayu yang dibutuhkan untuk bahan baku pembuatan perahunya. Peralatan yang dimiliki oleh para pembuat perahu pada masa lalu masih terbatas kepada beralatan yang cukup sederhana atau tradisional :
1)      Bor
2)      Gergaji
3)      Bortangan
4)      Palu-pali
5)      Penjepit
6)      Talipatron
7)      Pahat kecil
8)      Palu kayu
9)      Syehmat
10)  Kampak, dll
  Adapun Bahan Tradisional yang dipakai :
1)      Pasak kelli sebagai penyambung antara papan
2)      Pasak tulang sebagai penghubung papan dengan tulang pembuatan rangka perahu
3)      Pasak lunas sebagai lunas dengan pasak pengikat
4)      Lem bahan dari kulit kayu dan air yang di tumbuk berfungsi merapatkan sambunan papan secara permanen
5)      Lepak dempul dari campuran kapur dan minyak kepala lalu dikentalkan befungsi menutup ubang kapal. Namun seiring semakin meningkatnya pesanan pembuatan perahu pinisi khususna dari manca Negara dari sistem kontrak kerja termasuk waktu penyelesain yang diawali sekitar akhir tahun 1990-an hingga saat ini maka proses pembuatan dan peralatan yang digunakam sudah mulai banyak untuk mengefesienkan waktu pembuatan.

C. Upacara Adat Dalam Pembuatan Perahu Pinisi
     Upacara tradisional merupakan tradisi yang integral dari kebudayaan masyakat, yang berfungsi sebagai pengokoh norma-norma serta nilai-nilai budaya yang telah dalam masyarakat turun-temurun. Norma-norma tau nilai-nilai budaya itu ditampilkan dengan peragaan secara symbol dalm bentu upacara yang dilakukan dengan penuh hikmah oleh masyarakat pendukungnya. Upacara tradisional dilakukan oleh warga masyarakat dirasakan dapat memenuhi kebutuhan para anggota, baik secara individu maupun secara komunal.[8]
     Untuk menjalin keharmonisan antara penguasa alam semesta dalam pembuatan perahu pinisi diadakan beberapa upacara ritual dengan tata cara tertentu yang diwarisi oleh leluhur mereka. Ada tiga upacara ritual yang dilakukan punggawa/panrita lopi dalam pembuatan perahu yaitu: upacara menebang lunas atau anb klbiesa (annakbang kalabiseang) yang pada dasarnya memohon izin restu pada kekuatan gaib agar merelakan kayunya untuk ditebang. Tampak pada upacara ini perilaku punggawa yang lain dari biasanya yang memberikan kesan magis. Upacara kedua adalah antr (annattara) yaitu menyambung lunas yang merupakan symbol “pertemuan” ayah dan ibu sebagai terciptanya “janin” yang selanjutnya akan diproses menjadi “bayi” dalam bentuk perahu, ke dalam lubang klbiesa (kalabiseang) dimasukkan material tertentu yang merupakan symbol isi kandungan “sang   ibu” yang bermakna kekuatan, kemuliaan dan kemakmuran. Mantera yang diucapkan punggawa merupakan do’a dan spirit yang akan memberikan ketenangan dan harapan bagi pemilik perahu. Serpihan kayu pnt’ (pannatta’) dibagi dua antara punggawa dan pemilik perahu, merupakan symbol ikrar dan kesepakatan di antara mereka. Upacara ketiga dalam pembuatan perahu yaitu amosi (ammossi) upacara ini merupakan symbol ‘kelahiran sang bayi perahu’ setelah diproses selama beberapa bulan sejak terbentuknya ‘janin perahu pada upacara antr (annattara).
     Upacara ini merupakan upacara sakral, dimana punggawa/panrita berkerudung putih, asap kemenyan yang mengepul serta mulut komat kamit membacakan mantera mengendapkan situasi khusuk dan sacra. Upacara ini diakhiri dengan darah ayam yang dioleskan pada bagian tertentu yang bermakna kesucian dan kemuliaan. Selama perahu diproses terdapat banyak pantangan dan pamali yang tidak boleh dilanggar, sebab akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup perahu.Ada dua motif yang terdapat pemali itu, yakni motif teknis dan motif magis. Kedua motif ini berkaitan dalam satu pemali, namun dalam pandangan panrita lopi keseluruhan pemali itu mempunyai motif magis yang kuat.
ritual-ritual dalam pembuatan perahu sudah mulai banyak pula ditinggalkan. Selain pengaruh agama Islam yang telah dianut dengan baik pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan tehknologi juga membawa perubahan-perubahan pada nilai kepercayaan ang cenderung semakin menipis. Adakalanya dikalangan masyarakat pembuat perahu seorang atau kelompok melakukan pemujaan secara diam-diam dan bakan sudah ada yang malu untuk melakukan hal seperti yang dimaksud. Namun demkian tidak berarti nilai-nilai dasar atau keyakinan dasar dari kepercayaan nelayan dengan kekuatan gaib yang terdapat di alam ini sudah berubah.




     Upacara - upacara Adat Dalam Pembuatan Perahu Pinisi Di Tanah Beru Bulukumba

a. Upacara menebang lunas anb klbiesa(annakbang kalabiseang)
     Klbiesa kalabiseang atau menebang lunas perahu (balok dasar perahu) merupakan komponen dasar dan utama sebuah perahu, sebab pada komponen ini akan di letakkan kepingan-kepingan papan sampai terbentuk perahu pinisi. oleh karena itu kayu untuk bahan lunas harus dipilih maupun kualitasnya. Tapi ada beberapa pantangan dalam memilih kayu lunas misalnya tidak boleh menggunakan kayu bekas, atau kayu dari pohon yang jatuh sendiri, kayu yang hanyut atau kayu yang cacat. Apabila punggawa meninjau hutan yang memiliki jenis kayu yang akan diolah menjadi bahan baku, yang pertama dilakukan mencari pohon yang akan dijadikan bahan klbiesa (kalabiseang). Jika sudah ada pohon yang memenuhi persyaratan di atas, menurut tradisi orang Bugis-Makassar. Biasanya hari yang dipilih dan dihitung berdasarkan tanggal islam misalnya hari rabu pertama bulan berjalan pmul arb u(pamula araba). Pemilihan hari dilakukan jika memulai pekerjaan yang penting seperti upacara perkawinan,  mendirikan rumah dan sebagainya. rumah dan sebagainya. Setelah ditetapkan hari baik untuk melakukan penebangan pertama, para sawi menyiapkan perlengkapan/peralatan yang diperlukan untuk upacara tersebut. Pada dasarnya upacara ini mengandung makna “minta izin” kepada penghuni hutan/pohon atau penguasa. Hal tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk tata cara dan perilaku, serta pembacaan mantra/do’a sesaat sebelum pohon ditebang kemudia dikelilingi pohon tersebut sambil pengamati peralatan. Kemudian peralatan disandarkan tetap pada posisinya berarti penebangan dapat dilaksanakan. Jika semua peralatan atau kapak yang disandarkan tadi apabila jatuh ke tanah, berarti belum ada “izin” dari penghuni hutan.
     Dalam keadaan seperti itu, demi menjaga keharmonisan seperti uraian di atas, maka punggawa harus menyiapkan sesajiandisebut ker sk (kanre sangka) bersama seekor anak ayam yang baru menetas untuk dipersembahkan kepada penghuni hutan. Biasanya penebangan pertama dimulai sebelum tengah hari dengan harapan agar rezeki bertambah naik. Pada saat kayu sudah mulai roboh, diusahakan arahnya jatuh ke lokasi pembuatan perahu atau btil (bantilang) dan juga diusahakan agar tidak tersangkut pada pohon lain. Hal tersebut dilakukan dengan harapan agar pelaksanaan pembuatan perahu pinisi tidak mengalami halangan atau dapat berjalan dengan lancar. Sesuda mengelilingi pohon, kemudian punggawa mengambil kapak, selanjutnya mengambil posisi menghadap matahari. Kemudian mengatur napas dan berkonsentrasi sejenak, yaitu untuk mengadakan “komunikasi gaib”. Setelah konsetrasi sejenak selesai dilakukan, selanjutnya panrita membaca mantra:

Pattimbonnako buttayya
Katuhoannakobosiya
BatelamunnakoLukmanulhakim
Allahtaalaanta’bangko

Artinya

Engkauditumbuhkaolehtanah
Engkaudipeliharaolehhujan
EngkauditanamLukmanulhakim
TujuanAllahyang menebangengkau




     Setelah selesai membaca mantra dilanjutkan dengan basmala, kemudian tanpa menggerakkan lidahnya mengucapkan a…i…u… dan menahan napas, punggawa mulai menetakkan kapaknya Netakan pertama, kapak menghadap ke atas yang bermakna agar selalu bernasib baik. Setelah cukup tiga kali punggawa menetakkan kapaknya barulah satu atau dua orang sawi membantu untuk meneruskan penebangan sampai pohon tersebut roboh. Apabila pohonnya telah roboh, punggawa mengukur batang pohon dengan menggunakan tapak kaki yang selanjutnya dipotong untuk dibuat balok yang dibentuk sesuai dengan kegunaannya yang telah dibakukan. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang informan bahwa:
1.      Sangat dipantangkan saat menebang kayu dengan membelakangi matahari karena bayang bayangan akan jatuh ke pohon yang ditebang. Pohon pertama yang roboh tanpa halangan merupakan pertanda bahwa pekerjaan selanjutnya akan lancar
2.      ker sk’ (Kanre sangka’) yaitu nasi beras pulut yang berwarna putih, kuning, merah dan hitam (sangka   = lengkap), yang disajikan bersama dengan kalomping yaitu daun sirih yang dibentuk khusus diisi dengankapurdansekepingpinang
3.      Ada kepercayaan bahwa sesajian dan anak ayam baru menetas merupakan kesenangan mahkluk halus
4.      Pada saat punggawa melakukan konsentrasi dan mengadakan komunikasi
gaib dengan penghuni hutan, punggawa menanyakan pohon tersebut tersedia untuk dibuat perahu untuk si “anu”. Setelah mendapatkan persetujuan (isyarat) barulah dilakukan penebangan. Senada dengan hal tersebut di atas, bagi pelaut terutama nahkoda kapal mereka harus memiliki ear psobl (erang pasombala) yang merupakan ilmu supranatural yang wajib dimiliki para pelaut. Disaat perahu yang akan berlayar, sebelum para sawi turun ke perahu nahkoda melakukan “komunikasi gaib” dengan sang perahu apakah perahu bersedia untuk membawa seluruh awa perahu dan penumpang ketempat tujuan dengan selamat. Bila ada “isyarat” dari perahu tersebut barulah perahu berlayar. Selama dalam pelayaranpun pada saat tertentu “ilmu tersebut sering digunakan misalnya perahu ingin terhindar dari angin ribut, badai, dan sebagainya.
      Upacara antr (annattara) atau penyambungan lunas antr annattara mengandung pengertian memotong (dalam bahasa konjo annatta’ dalam arti memotong), yaitu memot ong/meratakan ujung menyambung lunas klbiesa (kalabiseang) untuk disambung dengan kedua penyambung depan dan belakang. Kegiatan ini dilakukan apabila perahu sudah akan niptor (nipatonrang) yang artinya mulai dikerjakan, dalam kegiatan dilakukan dengan upacara ritual sejak ratusan  tahun lalu. Pada kegiatan ini terkandung dalam beberapa makna\simbol yang tampak dari berbagai aktivitas panrita lopi sebagai pelaku utama dari upacara sakral. Seperti diketahui bahwa lunas perahu terdiri dari tiga potong balok, yang di tengah disebut klbiesa (kalabiseang) yang disimbolkan sebagai perempuan, dan penyambung merupakan simbol laki-laki. Dipandang dari segi kekuatan, bila ada balok kayu yang memungkinkan (memenuhi ukuran) balok lunas dapat tediri dari dari satu batang balok. Penyambungan lunas antr (annattara) merupakan simbol pertemuan ibu dan bapak, hal ini berdasar dari kepercayaan bahwa perahu adalah sosok kehidupan sebagai “manusia” yang memiliki eksistensi.
     Bertolak dari kepecayaan tersebut maka penyambunga lunas dianggap sebagai cikal bakal terciptanya “janin” dalam bentuk perahu, sehingga harus dilakukan upacara ritual dalam pelaksanaannya. Oleh karena antr (annattara) merupakan upacara sakral, maka pelaksanaannya dipilih hari- 28 Acara ritual annatta tetap dilakukan dimana lunas disimbolkan sebagai laki-laki, namun untuk mendaptkan nilai magisnya, panrita yang taat pada aturan dan tata cara yang telah ditetapkan leluhurnya akan akan tetap memakai lunas yang terdiri dari tiga otong balok kayu. 40 hari yang baik menurut tradisi suku Bugis- Makassar dan salah satu diantaranya yaitu hari rabu pertama bulan Islam. Pelaksanaan upacara juga biasanya dilakukan pada saat matahari sedang rembang naik dan air laut pasang naik. Agar dapat terpenuhi harapan rezeki akan bartambah naik atau selalu bernasib baik. Oleh karena klbiesa (kalabiseang) merupakan ukuran pokok perahu maka penentuan ukurannya dilakukan atas dasar musyawarah antara penggawa dengan pemilik perahu. Dilakukan sebelum mengolah bahan baku di hutan, namun sesaat sebelum antr (annattara) ukuran yang telah disepakati dipertegas kembali. Dalam menentukan ukuran panjang klbiesa (kalabiseang), sedikitnya ada dua hal yang harus diperhitungkan. Pertama tones (tonase) perahu, untuk pinisi yang berukuran 30-40 ton maka panjang klbiesa (kalabiseang) yakni 11 tapak kaki, untuk pinisi yang berukuran 100 ton panjang lunasnya 17 tapak kaki. Kedua, yaitu nasib perahu.
     Panjang lunas yang telah ditetapkan di atas dapat ditambah atau dikurangi berdasarkan langkh-langkah berikut :
1. msel-sel Massale-sale(bersenang-senang)
2. sugimnai Sugimanai(mencari laba)
3. tlrilauTallangrilau(tenggelam di laut)
4.metribotoMateribonto(mati di darat)
     Ukuran panjang sebuah langkah didasarkan pada lebar permukaan klbiesa (kalabiseang) ukuran panjang sebuah langkah didasarkan pada lebar permukaan klbiesa, dibandingkan dengan syarat yang dilakukan oleh orang yang akan membel atau memesan sebuah keris, dimana langkahnya adalah rezeki, pertemuan dan maut. Untuk ukuran tiap langkahnya berdasarkan pada lebar empu jari. Pemilik perahu biasanya lebih menyukai akhir langkah klbiesa (kalabiseang) jatuh pada langkah met riboto (mate ribonto) atau mati didarat. Menurut kepercayaan mereka kalau langkah akhir tersebut jatuh pada mslsel(massala-sale) atau sugi mnai (sugi manai), mereka belum bisa menentukan bagaimana akhir nasib dari perahu bersama awaknya, apakah tenggelam di laut atau mati di darat. Kalau mati di darat dikarenakan perahu sudah tua atau lapuk maka yang pasti awak perahu akan selamat. Hari yang ditentukan, punggawa meletakkan klbiesa (kalabiseang) di tengah bantilan yang sebelumnya dengan di alas dua potong balok. Bagian pangkalnya membujur ke laut dan diletakkan sedikit lebih tinggi dari ujungnya dengan maksud agar perahu tersebut tidak bernasib menurun ttuas (tattuasa). Sebelum upacara dimulai terlebih dahulu pemilik/sambalu menyiapkan kelengkapan antara lain dua meter kain putih, sepasang ayam yang sudah dewasa, pisang ambon/pisang manis, gula, kelapa, beberapa macam kue tradisional dan pedupaan.
     Para sawi menyiapkan peralatan yang akan dipergunakan seperti pahat, palu, gergaji, bor dan sebagainya. Sesaat sebelumnya prosesi upacara dimulai, panrita mengambil posisi jongkok di ujung kanan klbiesa (kalabiseang) menghadap ke arah timur berhadapan dengan pemilik perahu. Para sawi turut hadir pada acara tersebut dan berdiri di belakang punggawa, serta di belakang pemilik perahu berdiri beberapa calon sawi dan nahkoda perahu. Seluruh kelengkapan upacara diletakkan disekitar ujung depan klbiesa (kalabiseang) termasuk pedupaan. Ketika waktu yang dinantikan telah tiba, upacara dimulai yang diawali dengan pembakaran kemenyan oleh punggawa. Pada saat itu pemilik perahu memasangkan kain putih di kepala punggawa (seperti kudung).[9] Setelah asap kemenyan mengepul maka punggawa mengasapi pahat lalu meletakkannya tegak lurus pada garis batas ujung klbiesa (kalabiseang) dan selanjutnya dengan khusus membaca mantera sebagai berikut:

Dalle mambua’ilau
Sibuntulang kosicini’
Namarannupa’mai’nu
Mammakkang naha-nahanu
Artinya
Rezeki datang di Timur
Kamu bertemu saling memandang
Gembira perasaanmu
Berhenti pikiranmu

     Selesai membaca mantra, kemudian dilanjutkan dilanjutkan dengan basmalah dan seterusnya tanpa menggerakkanlidah, panrita, mengikrarkan tiga buah huruf keraat yakni : a…..i…..u….. dan tepat ketika huruf “u” dibacakan, maka palu dipukulkan di atas pahat beberapa kali. Serpihan kayu dari tetakan pahat tadi diambil oleh panrita lalu di bagi dua, separuh diberikan kepada sbluu (sambalu) separuhnya diambil oleh panrita sendiri lalu memasukkan kedalam mulutnya untuk “didinginkan”. Pemilik perahu menyimpan serpihan kayu tersebut untuk selanjutnya dimasukkan kedalam botol berisi minyak kelapa gading dibuat sendiri oleh pemilik perahu. Buah kelapa gading diambil langsung dari pohon dengan buah yang manghadap ke arah timur dan terletak tepat diatas pelepah daun. Ujung klbiesa (kalabiseang) yang telah ditandai dengan pahat, selanjutnya dipotong menggunakan gergaji tanpa berhenti sampai putus. Kedua ujung lunas dibuat lubang dengan ukuran tertentu yang merupakan simbol kemaluan perempuan. Selanjutnya, pada kedua balok penyambung dibuat alat kelamin (pen) yang besarnya persis sama dengan besarnya lubang pada kedua ujung lunas tadi, dan ini merupakan simbol kemaluan laki-laki. Sebelum kedua penyambung dihubungkan dengan klbiesa (kalabiseang) atau lunas, terlebih dahulu dimasukkan material antara lain: sedikit emas, besi baja, beras/kerak nasi, sedikit tahi ayam yang semuanya dibungkus dengan kapas. Setelah benda-benda tadi dimasukkan ke dalam lubang, barulah kedua penyambung yang sudah dibuatkan alat kelamin disambungkan dengan klbiesa (kalabiseang) atau lunas. Agar tidak kemasukan air, persambungan lunas dilapisi dengan bru (baruk) atau majun. Di atas kedua ujung lunas yang telah disambung itu, oleh punggawa diolesi dengan darah ayam yang telah disiapkan sebelumnya.
     Upacara pun selesai ditandai dengan punggawa membasuh muka dengan air dari cerek. Selanjutnya pemilik perahu menyalami punggawa sembari memberi “sedekah” serta semua persiapan lainnya seperti ayam, kain dan sebagainya diberikan kepada punggawa. Seluruh masyarakat yang hadir dengan makanan yang telah disediakan seperti kue-kue dan pisang. Pada saat semua masyarakat yang hadir menikmati makanan tersebut, punggawa mengambil sedikit dari tiap jenis kue dan membungkusnya dengan daun pisang kemudian menguburkannya tepat di bawah klbiesa (kalabiseang) yang merupakan sesajian persembahan kepada penghuni btil (bantilang). Kalau ada kayu yang memungkinkan dengan penggunaan klbiesa (kalabiseang) atau lunas yang hanya terdiri dari satu batang balok akan jauh lebih kuat dibandingkan dengan yang terdiri dari tiga potong balok kayu yang disambung. Tetapi punggawa waktu dulu umumnya tetap menggunakan kayu yang terdiri dari tiga potong balok karena disamping nilai magis seperti uraian terdahulu, menurut beberapa informan bahwa tiga potong balok lunas ditambah dua buah sotting adalah simbol dari dua rukun islam dan lima waktu shalat.
1. Serpihan kayu pnt’ (pannatta’) yang dibagi dua antara dua punggawa dan sbluu (sambalu), merupakan simbol/ikrar kesepakatan antara mereka, dapat pula bermakna lain. Bagi pemilik perahu serpihan kayu dapat menjadi “penawar” bila perahu dalam keadaan bahaya misalnya diamut badai. Tetapi sebaliknya bagi punggawa, serpihan kayu dapat menjadi “senjata” (ramuan guna-guna) untuk mencelakai perahu apabila hati punggawa dilukai oleh sblu (sambalu).
2. Material yang dimasukkan kedalam lubang klbiesa (kalabiseang) atau lunas adalah sebagai simbol isi kandungan sang “ibu” yang masing-masing bermakna yaitu:

a.       Emas sebagai symbol kemuliaan
b.      Besi baja sebagai symbol kekuatan
c.       Beras sebagai symbol kemakmuran
d.      Kotoran ayam sebagai symbol dipercaya bahwa dapat menagkal ilmu gaib
Kapas rurung-rurung (kapas sama-sama) sebagai symbol mengandung harapan agar rezeki dapat berkelanjutan. Dari makna simbol di atas menunjukkan harapan kepada sang perahu agar dapat melahirkan, Kemuliaan, kekuatan dan kemakmuran serta keberuntungan
3. Darah ayam yang dioleskan pada persambungan klbiesa (kalabiseang) merupakan simbol kesucian dan keperawanan. Hal ini dapat dikaitkan dengan pemilihan bahan lunas harus kayu yang utuh/baru, tidak cacat dan dipantangkan memakai kayu bekas.
     Terdapat beberapa versi mantera yang diyakini oleh panrita lopi yang dipergunakan pada aktivitas ritual pembuatan perahu. Perubahan isi mantera diakibatkan oleh pengaruh kepercayaan islam, namun situasi magis dalam setiap upacara ritual tetap seperti yang diwariskan oleh para leluhur. Pembacaan mantera mengandung nilai yang sangat esensial, sebab mantera dapat berfungsi sebagai perwujudan niat yang sangat penting bagi ketentraman batin. Apabila mantera diidentikkan dengan do’a, maka sangat penting bagi ketentraman batin. Dengan berdo’a kita memupuk rasa optimism didalam diri manusia serta menjauhkan pesimis dan putus asa. Adapun pembacaan basmala berarti nilai agama islam selalu dijunjung tinggi setiap aktivitas pembuatan perahu (dengan tidak meninggalkan tatacara ritual yang bersumber dari tradisi). Sedangkan pengucapan a….i…u…. para panrita lopi percaya bahwa ketiga huruf hidup yaitu huruf keramat dan angka tiga itu sendiri dipercaya sebagai angka kosmos.
     Diakibatan pengaruh agama islam yang begitu kuat, akhir-akhir ini pembacaan ikrar a….i….u…. sering diganti dengan pembacaan basmalah, namun oleh sebagian panrita ada juga yang menggabungkan tiga huruf keramat dengan pengucapan basmalah. Perilaku panrita memakai kerudung putih dengan mulut komat kamit membacakan mantera serta darah ayam yang muncrat dioleskan pada persambungan lunas, memberikan kesan ritual/magis, sakral dan suci. Setelah upacara antr (annattara) selesai pekerjaan dilanjutka dengan memasang papan pegep (pangngepek) atau pengapit, yang akan memperkuat ketiga potong balok lunas. Sesudah pemasangan pegep (pangngepek) barulah pekerjaan dilanjukan dengan memasang auru skr (uru sangkara) atau papan pertama, memasang sotting (linggi) depan dan belakang, kanjai (papan penyambung uru sangkara/pangepek, berbentuk kait) dan seterusnya sesuai dengan papan terasa yang sudah ditetapkan oleh panrita. Selama pekerjaan papan terasa, cukup banyak aturan dan tata tertib yang harus ditaati, baik mengenai ukuran papan maupun hal-hal lain yang bersifat pantangan. Selama pekerjaan papan terasa ini, umur perahu dapat diperhitungkan.
     Kemudian dapat dilakukan dengan mengukur permukaan klbiesa (kalabiseang) sebagai acuan, dimana lebar klbiesa (kalabiseang) diukur pada titik tengah (prtengahan lunas) ke lambung perahu (susunan papan terasa). Apabila ujung acuan tersebut bertemu pas dengan salah satu “rapakkang” (persambungan dua buah lajur/urat papan), maka dari persambungan tersebut dihitung berapa lajur ke bawah yang dilewati dan mereka percaya bahwa sekian tahun pula umur perahu tersebut. Selain perhitungan umur perahu dapat diperkirakan dalam pekerjaan papan terasa, terdapat pula pantangan dan pamali. Salah satu pantangan dalam pemasangan papan terasa merupakan persambungan papan tidak boleh tepat pada mata kayu. Apabila terjadi tanpa disengaja biasanya punggawa langsung memberikan penawaran dengan jalan memotong jengge/balung ayam jantang dan darahnya dioleskan pada mata kayu kemudian mata kayu dikikis dengan pahat. Menurut panrita lopi pantangan-pantangan dalam pemasangan papan terasa cukup banyak. Apabila diteliti dapat dilihat adanya dua motif pada setiap pamali yaitu, motif teknis dan motif magis. Keduanya saling berkaitan dalam satu pamali dapat pula dilihat bahwa tekanan dari kedua motif di atas berbeda untuk setiap pamali.namun dalam pandangan panrita kesemua pantangan memiliki motif magis yang sangat kuat.
     Apsili (Appasili), Appassili adalah suatu acara ritual yang dilakukan pada malam hari sebelum amosi (ammossi), dan bertujuan untuk menolak bala. Dewasa ini upacara appassili dilakukan bersama dengan upacara amosi (ammossi), telah dipengaruhi unsure islam diantaranya dengan pembacaan Barazanji dan sebagainya. Sebelum upacara dilaksanakan, terlebih dahulu disiapkan kelengkapan antara lain satu cerek air diambil dari mata air tertentu. Untuk kelengkapan pula seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidGin (sidigin) atau cocor bebekk, siro (sinrol), th tinps (taha tinappasa), th siri (taha siri), pno-pno (panno-panno), yang diikat bersama pipi. Ikatan dedaunan dan air tersebut dipercaya mengandung makna sebagai berikut  :
a.       Air yang diambil dari mata air tertentu, dipercaya bermakna rezeki tidak pernah kering
b.      Daun sidGi (sidingin) mengandung makna pemilik dan awak senantiasa dalam kondisi yang tenang /tentram.
c.       Sirolo (Sinrolo), sejenis tumbuhan merambat yang pertumbuhannya sangat cepat sehingga diharapkan akan tetap meningkat.
d.      Th tinps (Taha tinappasa), bermakna untuk menolak ganggung makhluk halus/roh jahat sehingga terhindar dari amarah bahaya.
e.       Th siri (Taha siri) atau rasa malu/harga diri, diharapkan pemilik perahu memiliki harga diri dan malu apabila tidak berhasil.
f.        Pno-pno (Panno-panno) atau penuh, merupakan sejenis daun yang diharapkan bermakna rezeki selalu penuh/barhasil
g.       Pipi (Pimping) yaitu sejenis tebu (batang rumput gajah) yang bila kering sangat ringan/dapat mengapung bermakna selalu bernasib baik  nasib selalu berada dipermukaan. Sebelum pembacaan barzanji oleh kelompok tertentu terlebih dahulu diadakan makan bersama yang dihadiri oleh oleh penghulu adat, pemuka agama dan para kerabat.
h.      Banyak orang yang hadir pada malam kelengkapan acara, turut dipersiapkan kue-kue tradisional yang masingmasing mengandung makna/simbol antara lain gogoso (gogoso) atau gogos, kolpisi (kolapisi) atau kue lapis, aoed-aoed (onde-onde), sokolo (songkolo) atau kukus, kdo msikulu (kaddo masingkulu) dan sebagainya.

D. Jalannya Upacara
     Adapun jalannya upacara menurut informan dari salah satu warga yaitu setelah selesai makan bersama dan perengkapan/bahan untuk upacara sudah siap diatas perahu, pelaksanaan upacara (anggota barzanji) membacakan barzanji sampai selesai. Selama pembacaan barzanji, seluruh yang hadir tetap mengikuti dengan khidmat. Pembaca barzanji mengambil posisi dibagian geladak perahu dan saling berhadapan. Setelah selesai pembacaan barzanji, seorang guru sr (guru sara) yang dipanggil khusus, yang dibaca sokobl (songkobala) dan selanjutnya menghadap ke wajan yang berisi air (diambil dari mata air) dan seikat daun-daunan untuk membacakan mantera dengan sangat khidmat dan khusyuk. Air yang diambil dari mata air kemudian dimanterai sambil diaduk-aduk dengan menggunakan seikat dedaunan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Air yang telah dimanterai disebut air sokbl (songkabala). Kemudian air dipercikkan ke sekeliling perahu dengan cara dikibas-kibaskan dengan menggunakan ikatan daundaunan. Setelah upacara selesai, para tamu kembali dijamu kembali dengan kue tradisional termasuk pisang ambon yang sudah disiapkan.
     Amoso (Ammosi) puncak acara malam merupakan ammossi yaitu pemberian pada petegahan lunas perahu. Pemberian pusat berdasarkan kepercayaan bahwa perahu adalah “ana” punggawa/panrita lopi. Berdasar pada kepercayaan maka upacara amosi (ammossi) merupakan simbol pemotongan tali pusat bayi yang baru lahir. Pada hakekatnya amosi (ammossi) merupakan simbol kelahiran “bayi perahu” setelah diproses selama beberap bulan sejak terbentuknya janin perahu pada upacaraantr (annattara). Dalam malakukan upacara disiapkan kelengkapan seperti kain putih sekitar dua meter, satu pasang ayam dewasa, kelapa, pisang ambon, gula merah,cincin emas satu buah, satu buah kuali, sarung, songkok, baju dan pedupaan. Sebelum prosesi upacara dilakukan, semua kelengkapan upacara disiapkan disekitar pertengahan lunas perahu yang merupakan tempat dilaksanakan upacara. Pada saat upacara dilakukan pemilik perahu duduk sambil berjongkok diposisi disebelah kiri pertengahan lunas perahu, berhadapan dengan panrita kemudian jongkok diposisi sebelah kanan.
     Kemanyanpun dibakar setelah selesai dimantrai punggawa lalu kain putih dinaikkan ke kepala panrita kerudun oleh pemilik perahu. Selanjutnya cincin emas yang ditaruh pada sebuah piring kecil dimasukkan punggawa ke dalam mulutnya kemudian panrita mengasapi pahat kecil/pa’otere (pahat tua) sambil berkonsentrasi sejenak (berkomunikasi dengan alam gaib). Sesaat kemudian mulutnya komat kamit membaca mantera: Nabi Sulaiman tettong riolona lopi, Nabi haidir ajjaga rilaleng risaliweng Artinya : Nabi Sulaiman berdiri di depan perahu, Nabi Haidir menjaga di dalam dan di luar secara simbolis bait-bait mantera menujukkan penyerahan sang bayi perahu kepada dua orang Nabi yaitu Nabi Sulaiman sebagai penguasa bumi dan Nabi Haidir sebagai penguasa lautan. Kepada kedua nabi inilah punggawa menyerahkan bayi perahu. Penyerahan kepada kedua Nabi menggambarkan simbol dualistik seperti kanan dan kiri, siang dan malam, dan menampilkan arti keseimbangan dan harmoni.
     Dalam peraturan konstruksi perahu, simbol dualistik yang menunjukkan keseimbangan dan harmoni banyak didapati, umpamanya pada klbiesa (kalabiseang) belakang, papan raksasa sebelah kanan harus lebih tinggi sedikitdari yang kiri, papan terasa yang sebelah atas harus lebih besar dari yang sebelah bawah. Simbol dualistik semuanya menunjukkan keseimbangan. Selesai membaca mantera selanjutnya panrita mengaur napas, kemudian mengucapkan dua kalimat keramat a….i…u…. dan tanpa penarikan napas, tepat pada huruf….u…. pahat dipalu dengan kapak taa tankai untuk membuat segi empat di tengah klbiesa (kalabiseang), (Kamaruddin (Usia 67 Tahun), Wawancara 15 Januari 2016, Desa Bira Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba) .
     Serpihan kayu bekas pahatan dimasukkan panrita ke dalam mulutnya. Pada bekas pahatan tadi selanjutnya dibor sampai tembus ke arah kanan lunas parahu. Di bawah lambung perahu seorang sawi siap menampung serbuk bor dengan kuali yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setelah klbiesa (kalabiseang) tembus dengan bor, serpiahan kayu tadi dikeluarkan dari mulutnya, selanjutnya punggawa berkumur dengan air dari cerek dan menyemburkan pada lubang klabiesa (kalabiseang) Prosesi selanjutnya adalah pemilik perahu menyerahkan sepasang ayam kepada panrita, kemudian dipotong balung/jenggernya. Darahnya dioleskan disekitar pusat perahu, diujung depan dan belakang klabiesa (kalabiseang). Akhir dari seluruh rangkaian prosesi upacara ditandai dengan panrita membasuh depannya tepat di atas lubang posi (possi) Serbuk bor dan air yang keluar melalui luang possi, ditampung dalam kuali dan selanjutnya disimpan dalam botol bersama serpihan kayu pnt (pannatta) dan pmosi (pammossi) kemudian selanjutnya miy lopi (minnyak lopi) atau minyak perahu botol digantung pada elr (lenra) atau bek slr (bangkeng salara) bagian depan di bawah ktb (katabang).
     Menurut kepercayaan, minyak tersebut dapt digunakan sebagai penawar apabila perahu dalam keadaan/situasi bahaya misalnya saat diamuk badai dalam pelayaran dan sebagainya. Setelah seluruh rangkaian upacara dilakukan, semua yang hadir dipersilahkan mencicipi kue-kue, dan sebagainya. Pemilik perahu kemudian menyalami panrita dengan memberikan sedekah seperti uang. Termasuk ayam, kuali dan ppsiGi (pappisalingi) serta yang telah dipersiapkan, acara berikutnya adalah apker bl’pti (appakanre balla; pati),yang dipimpi oleh seorang “guru sara”. Di atas hamparan tikar sang guru duduk di atas blo ng-ng (balok naga-naga), posi (possi) yang baru dibuat tadi. Sambil membakar kemanyan sang guru mulai membaca mantera. Pemilik perahu suami istri duduk di sebelah kanan guru sedangkan nahkoda disebelah kirinya menghadap haluan perahu. Setelah selesai membaca do’a, istri pemilik perahu memberikan seekor anak ayam yang baru menetas, kemudia sang uru memotong leher anak ayam tersebut dicincang sampai lumat. Sebuah jantung pisang juga dicincang sampai lumat dan selanjutnya keduanya dicampur dan diaduk. Adukan tersebut selanjutnya dibungkus dengan menggunakan daun pisang dalam beberapa bungkusan. Selanjutnya diletakkan pada tempat tertentu yaitu dipusat perahu, pada persambungan lunas dan penyambung depan dan belakang, pada tajuk dikiri dan kanan perahu. Selanjutnya istri pemilik perahu mengeluarkan ker sk (kanre sangka) atau nasib lengkap dengan lauknya). Makan ini ditaruh di atas daun pisang, dan sambil membaca do’a sang guru membela dua makanan tadi dan membungkusnya. Bungkusan pertama diletakka nahkoda pada pertemuan klbiesa (kalabiseang) dan penyambung depan sedangkan yang sebungkus lagi ada pertemuan penyambung belakang.


Keterangan :
a.       Penggunaan pahat tua p’aoeter (pa’otere) yang dipalu dengan kapak tanpagagang, menandakan bahwa panrita masih sangat terikat / menghargai aturan lama dari leluhur.
b.      Hasil pemboran pusat ini dapat diramalkan umur perahu sebagai berikut :
1.      Apabila lubang bor jauh ke bawah/mendekati pinggir bawah lunas diyakini umur perahu akan panjang, akan tetapi bila terjadi sebaliknya (agak jauh di atas) umur perahu akan pendek.
2.      Kalau lubang posi (possi’) tembus ke dasar, diramalkan umur perahu akan panjang tetapi dapat berakibat buruk pada punggawa.
3.      Suatu situasi gawat yang menimpa pinisi ammana gappa dalam misi pelayarannya, nahkoda melakukan sesuatu pada lambung perahu, yang pada akhirnya perahu selamat sampai di Madagaskar.
4.      Menebang lunas membuat posi (possi) sebenarnya bertentangan dengan logika tehnik karena dapat mengurangi kekuatan klbiesa (kalabiseang). Barang kali ada sementara orang/pemilik perahu yang berpendapat demikian, utamanya mereka yang fanatik pada paham tertentu dan menganggap ritual seperti itu bertentangan dengan agama.
5.      Dalam pertukangan perahu, sikap panrita menempatkan nilai-nilai magis di atas nilai-nilai teknis telah berpengaruh pada tingkah laku, pola pikir, dan kecenderungan dalam melakukan tindakan. Dalam kadudukan syarat-syarat, pamali, atau yang banyak bernilai magis lebih diutamakan dalam banyak kegiatan pertukangan dari perhitungan teknis.
     Umpamanya pada pemasangan lunas yang terdiri dari dari tiga potong, ada kayu balok yang cukup panjang, akan tetapi untuk mendapatkan nilai magisnya (ammossi), yaitu pemberian pusat dari tiga potong, ada kayu balok yang cukup panjang panjang, akan tetapi untuk mendapatkan nilai magisnya, maka lunas yang terdiri dari tiga potong yang digunakan. Begitupan pada prosesi amoso (ammosi), yaitu pemberian pusat pada perahu dimana lunas dilubangi pada saat perahu akan diluncurkan, tindakan nampaknya bertentangan dengan logika teknik, tetapi hal hal ini tetap dilakukan tindakan nampaknya bertentagan dengan logika teknik,  tetapi hal ini tetap dilakukan karena pertimbangan dengan logika teknik, tetapi hal ini tetap dilakukan karena pertimbangan magis.
Peralatan tradisional dan modern dalam membuat perahu :
·         Kapak pangkulu Wase, alat menebang kayu, memotong, membentuk komponen perahu dsb.
·         Gergaji Karakkaji Gragaji alat memotong dan membelah kayu
·         Bor bo’ paggoro’ alat melubang kayu
·         Pahat pa’ pa’ alat melubang kayu
·         Parang berang bangkung alat pemotong kayu
·         Singkolo alat merapatkan papan
·         Palu kayu, palu-palu yang terbuat dari kayu kesambi alat pemukul (pasangan pahat)
·         Bassi’ becci’ Tali kecil untuk menandai bagian yang akan dipotong/dibelah
·         Palu besar saku’ saku’ palu kayu besar untuk pealu saat pemasangan papan
·         Pacul genggam bingkung paleppeng alat untuk meratakan papan
·         Pana-pana sepotong kawat kurang lebih 2 meter untuk membuat pola lingkungan rangka perahu
·         Ketam kattang alat untuk menghaluskan papan
·         Martil palu bassi alat untuk pemalu
·         Chain saw sinso senso gergaji mesin untuk memotong dan membelah kayu
·         Ketam listrik alat menghaluskan kayu
·         Bor listrik alat melobang kayu
·         Chain block takala alat untuk menarik
     Sampai sekarang peralatan sederhana/tardisional masih tetap digunakan. Sejak tahun 1980-an peralatan modern seperti chain saw, ketam listrik, bor listrik, cahain block/katrol (takal). Penggunaan peralatan modern tersebut akan menghemat tenaga dan mempercepat proses pembuatan perahu pinisi. penggunaan chain saw, misalnya dalam pengolahan kayu diperkirakan dapat menghemat waktu dan tenaga sekitar 80 %, apabila dibandingkan dengan hanya enggunakan kapak. Adapun perubahannya yang dialami perahu pinisi dari segi bentuk luar, dari segi keindahan hamper tak mengalami perubahan hanya saja konstriksi bagian dalam sedikit mengalami perubahan sebagai akibat pemasangan mesin tau motorisasi.
Perubahan atau penambahan konstruksi bagian dala ini khususnya pada body perahu antara lai :
o   Pengurangan ruang palka  untuk menjadi ruang mesin
o   Pembuatan jendela untuk peneangan kamar mesin, pipa udara dan ventilasi
o   Penambahan / penguatan pada irisan lobang palka digeladak yakni penambahan balok yang melintang dan membujur dilubang palka
o   Penambahan moor atau baut, sekrup pada ikatan kulit dan gading serta dengan balok geladak.
o   Penguatan pada sambungan balok geladak dan gading
o   Penguatan/pemasangan sepatu lunas dari plat baja panjang, sepanjang lunas, bila perlu penguatan pada hubungan dek dengan tiang layar
o   Kemudian akibat pemasangan mesin perlu dipasang :
o   Fondasi mesin termasuk khusus sebagai tambahan ruang serta balok-balok membujur
o   Pemasangan dek mesin
o   Penerobosan lubang poros pada lunas
o   dan pemasagan sarung poros serta  duduknya
o   pembuatan dan pemasangan balok di gladak dan gadin-gading peraatanya.
o   Pemasangan balok-balok pengisi
o   Pemasangan tangki bahan bakar, minyak lintir dan air tawar
o   Pemasangan pipa pompa 3 buah
o   Pemasangan sink stuk
o   Pemasangan alat pemadam kebakaran
o   Untuk mengarungi getaran mesin pada body perahu, diperlukan mesin dengan putaran rendah.[10]

     Demikian penjeasan mengenai “Perahu dan Ritual Pembuatannyadi Tana Beru Bulukumba” Sulawesi Selatan, semoga bermanfaat.


DAFTAR PUSTAKA

Budiutomo, Bambang. Warisan Bahari Indonesia Cet.I ; Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016.

N, Intan Mardiana, dkk.,Koleksi Pilihan 25 Museum di Indonesia Direktorat Museum direktorat jendral sejarah dan   purbakala kementrian kebudayaan dan pariwisata ; 2009

Utami, Mudjibah. Cerita Perang Kemerdekaan Indonesia, https://books.google.co.id/ (18 Oktber 2017)

Saenong,  Muhammad Arief. Pinisi : Paduan Teknologi dan Budaya ; Yogyakarta: Ombak, 2013, h. 93

Wahid, Sungir. Manusia Makassar.

Nirmala Dewi, “Upacara Pembuatan Perahu Di Kecamatan Bontobahari Bulukumba”, Skripsi Makassar Fak. Adab dan Humaniora UIN Alauddin, 2016 .














[1]Bambang Budiutomo, Warisan Bahari Indonesia (Cet.I ; Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), h. 95
[2]Intan Mardiana N, dkk., Koleksi Pilihan 25 Museum di Indonesia (Direktorat Museum Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata ; 2009)
[3] Mudjibah Utami, Cerita Perang Kemerdekaan Indonesia, h. 95 https://books.google.co.id/ (18 Oktber 2017)
[4] Nirmala Dewi, “Upacara Pembuatan Perahu Di Kecamatan Bontobahari Bulukumba”, Skripsi (Makassar Fak. Adab dan Humaniora UIN Alauddin, 2016). h. 5

[5]Muhammad Arief Saenong,  Pinisi : Paduan Teknologi dan Budaya ; Yogyakarta: Ombak, 2013

[6] Muhammad Arief Saenong,  Pinisi : Paduan Teknologi dan Budaya ; Yogyakarta: Ombak, 2013, h. 77-86

[7] Muhammad Arief Saenong,  Pinisi : Paduan Teknologi dan Budaya ; Yogyakarta: Ombak, 2013, h. 93
[8] Sungira Wahid, Manusia Makassar, h. 9
[9]Nirmala Dewi, “Upacara Pembuatan Perahu Di Kecamatan Bontobahari Bulukumba”, Skripsi (Makassar Fak. Adab dan Humaniora UIN Alauddin, 2016) . h. 42

[10]Nirmala Dewi, “Upacara Pembuatan Perahu Di Kecamatan Bontobahari Bulukumba”, Skripsi (Makassar Fak. Adab dan Humaniora UIN Alauddin, 2016) . h. 59